Jumat, September 21, 2007

Yang Terkenang Dan Yang Terbuang

Apakah hanya yang terkenang saja yang patut untuk kita ingat, sedang selainnya harus kita buang jauh-jauh, dan sebisa mungkin kita anggap bahwa itu seakan-akan tidak pernah terjadi pada diri kita?.

Pertanyaan yang mendasar itu muncul setelah kemarin diajak kawan saya yang sebentar lagi mau pulang ke indonesaia foto-foto. Ambil gambar dibeberapa tempat yang menurut dia layak dan patut untuk diingat atau kata dia “tempat-tempat yang ngangeni”. Gang dan lorong-lorong yang sering kita lewati kita jepret. Tempat jualan juz buah, Cafe yang biasa kita nongkrong mendiskusikan hal apapun kita jempret dari segala posisi. Dan tentu tak ketinggalan pinggiran Nil yang bersejrah dan ramai itu.


Saya nyeletuk pada kawan saya itu “tempat ketika kamu di putus pacar kamu pren, perlu kayaknya kita jepret juga?”. “ah, itu tidak perlu dikenang, hal-hal yang kelam harus kita buang jauh-jauh”, jawabnya singkat. Sepertinya terbesit dalam benak kawan saya itu bahwa semua hal yang ‘ngangeni’ saja yang patut untuk diingat, hal yang enak-enak saja yang layak untuk kita catat sebagai sejarah selainnya tidak. Apakah harus seperti itu?.

Saya pikir tidak. Tidak hanya hal-hal yang ngangeni saja yang harus diingat. Tapi hal yang kita pernah terjerumus, kita pernah terluka, kita pernah tersandung, baik waktu dan ruangnya itu juga saya pikir wajib untuk diingat dan dikenang, layak untuk kita catat atau kita dokumenkan sebagai satu sejarah kelam sekalipun. Memang kelam tapi patut dicatat saya kira.

Saya teringat pernah suatu hari saya membaca buku orang-orang sukses sedunia. Dalam buku itu dipaparkan sejarah kelam orang-orang sukses itu, tapi karena mereka menganggap bahwa ketidakberhasilan atau sejarah pahit itu adalah hutang yang wajib dilunasi, akhirnya mereka camkan dalam benak masing-masing, mereka ingat dan mereka telaah sedemikian rupa. Kenapa bisa seperti itu?. Mereka berjuang mati-matian untuk melunasi hutangya. Dan pada ujungnya mereka semua sukses dan berhasil menguncang Dunia berkat meninggat hal-hal yang kelam pada diri mereka. Berkat menganggap bahwa itu hutang, dan wajib dilunasi. Mereka menggunakannya sebagai senjata, menggunakannya sebagai tangga untuk meniti pada yang dicita.

Hal-hal yang pahit dan getir akan menjadi batu penghalang buat kelangsungan hidup setelahnya, kita akan jatuh sakit atau seperti teracuni, alias tidak ada semangat hidup kalau kita tidak membuangnya. Mungkin seperti itu yang ada dalam benak kawanku itu. Tapi bukankah dari yang pahit itu kita belajar?, bukankah dari yang kelam itu kita berguru?, bukankah dari yang tersesatkan itu kita mengingat dan selanjutnya kita tau bahwa semua itu tidak perlu terjadi lagi pada diri kita masing-masing.

Dari yang ‘tidak enak’ maupun yang ‘enak’ dikenang itulah kita menyempurnakan diri kita sebagai manusia yang utuh. Dan sejarah baik ria maupun duka dalam diri kita adalah guru yang paling bijak bukan?.

Kairo lorong sepuluh, 21/09/2007


3 komentar:

Sofi Mubarok mengatakan...

woi..mbah, terlalu di dramatisir..koyoke ceritane nggak ngono'e..
wah..wah..iku poto yang dipampang di atas hasil jepretan-KU, hehe.. siip lah, ntar kalu saya mau pulang, antar saya juga ya poto2..hwehwwh...:))

Aan Zainul A mengatakan...

Wah sangat bijaksana sekali... mencoba selalu menjadikan segala masa lalu sebagai cermin supaya tidak menjadikan matinya "rasa".

anyway, justru jika kekelaman dikenang, maka tidak akan terjadi lagi... ya misalnya, g akan putus cinta dipinggir Nil lagi kali... ya, mungkin akan cari suasana baru untuk putus....

Han mengatakan...

byuh. poto yg diatas itu kenapa pula dipajang, mengenaskan. :)