Senin, September 17, 2007

Tumbal Kekuasaan*

Tubuh itu terlalu tua untuk diseret kesana kemari diluar kehendaknya. Tidak ada perlawanan sedikitpun ketika pesuruh-pesuruh itu membawanya. Dia pasrah, tapi pada pasrahnya seperti ada pemberontakan yang diam, seperti ada jerit kebenaran yang menggeram hendak menantang, hendak mengucap “apa salah saya?”,tapi pak tua itu lebih memilih diam katimbang menantang.

Pak tua itu memang aneh menurut ukuran khalayak, dan sebab keanehannya itulah dia harus diganjar dengan hukuman mati. Dia sering mengomel di tengah pasar melantunkan kata-kata yang menurut umum hanya orang gila yang berkata seperti itu.

“Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri…..”. Sepontan semua orang dipasar menoleh padanya dan serentak berkata GILA!

Ada yang tidak bisa dimengerti dari pak tua itu, sesuatu yang terpendam dalam jiwanya, ada arena pertarungan batin yang hebat dalam jiwanya, yang tidak bisa dipahami begitu saja. “wahai engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri”. Omel dia pada suatu hari. Ada satu kesatuan yang menyatu dalam dirinya yaitu Tuhan. tapi bisakah Tuhan yang “Maha segalanya” itu dijabarkan dalam satu kata yang jelas terbatas oleh ruang dan waktu itu?.

Saya jadi teringat penyair Sutardji Calzoum Bachri yang juga pernah mencoba untuk menjabarkan tuhan lewat kata-kata: “ aku telah nangkap manusia dengan tangan”, tulisnya “dengan meriam dengan ide dengan fikiran”, Namun “cuman jejakMu saja yang aku dapatkan pada mereka”. Ada satu batas yang tidak bisa ditembus. Hanya jejak yang bisa ditemu oleh Sutardji. Dan jejek tidaklah sebenarnya bukan?. Ada sesuatu yang tidak bisa dijabarkan.

Tuhan tidak akan bisa kita pahami seperti kita memahami ilmu matematika. Berproses dari satu titik awal dan sampai tiba disuatu titik akhir. Chairil Anwar juga menulis sajak yang terang-terangan tentang Tuhan tetapi ia tahu betapa

.....susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh


“ana al-haqq” (akulah yang maha benar). dalam salah satu syairnya pak tua itu menulis. Lagi-lagi dia bikin gaduh. Melahirkan sesuatu yang bombastis. Sesuatu yang membikin para tokoh pada waktu itu kelabakan dan gerah.
Ada yang tidak bisa dibedakan oleh pak tua itu, dua hal yang benar-benar jauh satu sama lain yaitu Tuhan yang “Maha lain” dan dirinya sendiri sebagai manusia yang “juga lain”.

Pak tua itu dituduh melecehkan agama. Dituduh kafir lantaran kelakuannya yang aneh itu. Darahnya halal dan wajib diberangus dari muka bumi. Terlalu mudahnya manusia mengecap mati. Cap yang hanya “Maha lain” yang semestinya punya hak untuk itu telah diperkosa. Telah di rebut dari tangan Tuhan. Dimana kesadaran sebagai manusianya?.

Di mahkamah yang dipimpin Abi Umar, pak tua itu hanya diam ketika dibacakan tuduhannya. “Kau telah mengaku sebagai Tuhan, kau telah mengatakan bahwa kaulah yang telah menghidupkan yang mati, dan kau bilang bahwa segala perbuatan yang anda kerjakan atas petunjuk wahyu”. Kata hakim dipersidangan membacakan tuduhan itu.

Beberapa kalangan menganggap pak tua itu sebagai wali, ada juga yang memandang sebagai bentuk kesadaran paham esoterik, bahkan ada yang meyakininya sebgai Nabi. layak saja mempunyai banyak pengikut dimana-mana.

Selama bertahun-tahun pak tua itu mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina. Selain melakukan kunjungan dakwah ke para pengikutnya, juga karena dia sering jadi buronan dimana-mana. Di makkah misalnya, dia pernah dicari-cari Umar Al-makkiy karena menentang al-quran. Akhirnya dia keluar dari mekkah. Apa artinya hidup menetap kalau hidup pribadi kita dirampas?. Mungkin begitu pikir pak tua itu.

Ada banyak kekuatan politik yang mendominasi lekuk-lekuk kehidupan pada waktu itu. Dan wajar bukan setiap kekuatan berpikiran setiap yang bahaya setiap itu juga harus diberanggus?. Proteksi dimana-mana, orang terbungkam, selain mulut juga pikiran sering di belenggu untuk tidak neko-neko. Manut pada siapa yang paling kuat. Pada siapa yang paling berkuasa waktu itu. Kekuasaan benar-benar segalanya. Dan imbasnya pak tua jadi perhatian para pemuka agama waktu itu, dia diinteli dimana-mana.

Pak tua itu di tuduh terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya berperan aktif membakar emosi rakyat. Dari bukti-bukti yang di temukan di rumah-rumah para pengikutnya, yaitu sejumlah besar dokumen dan naskah-naskah kritis, akhirnya penguasa abbasiyah mengintruksikan militernya untuk menangkap Pak tua itu. Di rumahnya dia di ciduk di bawa ke mahkamah dan sederet tuduhan dibacakan padanya.

Pak tua itu menggeram, melantang dengan suaranya yang penuh dengan pemberontakan “ aku berlindung kepada Allah, demi tuhan aku tidak berkata kalau aku adalah tuhan, kalau aku adalah nabi. Aku adalah manusia biasa yang menyembah tuhan dan mengikuti nabi, aku adalah lelaki biasa yang masih mengerjakan sholat dan puasa”.

Apalah daya pembelaan ketika kekuasaan manjadi segalanya. Ketika kekuasaan hampir mirip seperti Tuhan. Punya hak untuk menentukan mana yang layak untuk hidup dan tidak.

Beberapa saksi laki-laki dan perempuan didatangkan. Tidak ada satupun saksi yang membela pak tua itu. Justru sebaliknya semua berkata jauh dari fakta, jauh dari kenyataan yang betul-betul telah terjadi pada pak tua itu untuk yang sebenarnya. Pak tua itu hanya tersenyum mungkin sambil berpikir “jangan anggap kau bisa merampas otakku meski mulut dan tubuhku kau bungkan dan kau pendam”.

“ketika saya tidur dia mendatangiku dan menyetubuhiku”, kata seorang saksi perempuan yang cantik dan seksi itu dimahkamah.

**********

Abu ja’far bin bahlul –salah satu hakim di mahkamah- mengintruksikan bawahanya untuk menggeledah rumah Pak tua itu. Beberapa dokumen lagi di temukan, sebagian dokumen itu ditulis memakai sandi yang hanya dia dan para pengikutnya yang tau apa arti sandi itu.

Tapi ada satu buku yang aneh yang didapat dari rumah pak tua itu. Isinya sukup mengejutkan para hadirin. Buku itu menjabarkan tata cara haji. Tata cara itu tidak seperti yang banyak tertanam dalam benak umum. Karena haji cukup menganggap kamar Pak tua itu sebgai ka’bah, towaf cukup berkeliling kamarnya, setelah itu mengumpulkan tiga puluh anak yatim, memeberi makan dan sandang pada mereka lalu membagi-bagikan uang setiap anak yatim sebanyak tujuh dirham. sempurnalah sudah haji seperti itu.

Semakin dekat kematian pada pak tua itu.

Selembar kertas digilir dari satu hakim ke hakim yang lain untuk ditandatangani sebagai hasil final bahwa Pak tua itu layak untuk mati. Melihat itu pak tua terlihat tenang tanpa gusar sedikitpun meski kematian sudah dekat seperti kedekatan Tuhan pada dirinya. Pak tua itu berkata: “pungunggku terlindungi dan darahku haram, apa yang kalian tuduhkan semua bertentangan dengan madzhab dan sunnahku, saya punya kitab yang menunjukkan sunnahku yang sebanarnya, sungguh Tuhan di dalam darahku”. Semakin kuat kedekatan Tuhan pada dirinya. Dan semakin dekat pula kematian menghampirinya.

Para hakim tidak menghiraukan ucapannya, sepertinya sudah sangat bulat sekali kalau darah Pak tua itu memang benar-benar halal dan sudah tidak layak untuk hidup. Ah..seperti mereka saja yang memberi hidup?.

Orang-orang ramai, riuh berdesak-desakan, kontras sekali dengan waktu yang masih pagi itu. Pagi yang seharusnya hanya embun dan kabut padang pasir yang punya hak untuk mengusik, hanya suara alam dengan hembusan anginnya yang masih dingin yang seharusnya bersuara. Tapi tidak pada pagi itu, orang-orang juga ramai ikut mengusik pagi. Menyaksikan pak tua itu untuk mati. Sebentar lagi.

Dan semakin dekat kematian pada pak tua itu. Seperti dekatnya Tuhan pada dirinya yang tidak bisa dijabarkannya.

Pada wajah Pak tua itu tidak sedikitpun terlihat rasa takut, gemetar ataupun gusar. Tubuhnya terlihat tidak setua umurnya. Sebelum dieksekusi dia mintak sajadah dan izin barang sebentar untuk melakukan sholat. Lagi-lagi ada kekontrasan. Pak tua yang diangap syirik dan kafir itu masih sholat. Dan itu artinya masih mengakui bahwa dia manusia yang punya kewajiban menyerahkan sepenuh dirinya pada Tuhan. berarti dia sadar bahwa dirinya manusia dan Tuhan yang disembahnya.

Setelah melakukan sholat dia senyum, senyum dengan seindah-indahnya senyum, seperti habis bertemu kekasih dan saling mengikat janji. Senyumnya seperti pertanda, seperti satu isyarat bahwa sebentar lagi dia akan menemui kekasihnya, menemui orang yang selama ini sering merampas tubuhnya.

Di depan kerumunan tubuh dia diperlakukan seperti hewan korban. Diseret tanpa kemauan dia sendiri. Dan dia mati tepatnya pada tahun 309 H didepan mata para hadirin yang telanjang. Mati dia seperti maklumat untuk para pengunjung bahwa siapa saja yang melakukan hal yang neko-neko dengan kekuasaan akibatnya akan seperti Pak tua ini. Mati dengan cara yang tidak sewajarnya.

**********

Pada perjalanan selanjutnya ada satu buku yang menggemparkan. Namanya “Al-thawasin”. Buku yang dibilang aneh namanya oleh orang-orang pintar itu mengabarkan banyak hal atas apa yang terjadi sebenarnya pada pak tua itu.

Pak tua itu ternyata tidak salah. Tidak benar apa yang telah di tuduhkan padanya. Dan semua saksi yang di hadirkan, dan semua tuduhan yang diajukan pada waktu mahkamahnya itu hanyalah sebuah lakon yang sudah disutradarai. Para saksi juga dibayar dan diintruksikan untuk menguatkan bahwa Pak tua itu benar-benar harus salah sehingga halal untuk dibunuh. Mana yang salah mana yang benar tidak lagi jelas ketika dihadapkan pada kekuasaan.

Penangkapan Pak tua itu bukan sebab pikiran dan pendapat-pendapatnya, kata buku itu, melainkan karena dia dianggap salah satu pentolan kelompok Qaramitiyah (salah satu kelompok syiah yang di tuduh sesat). Kelompok ini salah satu oposisi yang punya niat menggulingkan kekuasaan Abbasiyah, pantas dia diberantas tandas sampai akar-akarnya dengan cara apapun, bahkan dengan membalikkan yang halal menjadi haram sekalipun. Halal haram tidaklah penting ketika kekuasaan memperkosanya. Mungkin saja halal dan haram yang kita kenal selama ini dalam teks-teks buku sama halnya sejarahnya seperti sejarah Pak tua itu?.

Kekuasaan menjadi segalanya. Berpikir. kegiatan yang sah untuk dimiliki setiap manusia itu akhirnya menjadi satu tendensi untuk menuju satu pencapaian.

Kematian seseorang bukan lagi hak Tuhan sekarang. Manusiapun bisa merebut itu dari Tuhan dengan kekuasaan. Pak tua itu satu buktinya. Memang benar-benar keji kekuasaan itu. “politik memang benar-benar kotor seperti Lumpur”. Kata Gie dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra.

Pak tua itu bernama Al-hallaj. Nama leangkapnya Husain bin Mansyur al-Hallaj. Sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda. Misterius dan penuh teka-teki dalam segala pola hidupnya. Alhallaj menjadi terkesan dan hidup kerena ia melambangkan perlawanan terhadap sebuah kekuasaan; kekuasaan yang semena-mena.

Tubuhnya mati. Tapi pikiran dan pendapatnya masih sering menguap dan bersuara keras bahkan lebih keras dan lebih dahsyat ketika dia masih hidup. Tampak bahwa hukuman mati Abbasyiah itu hanya sikap sewenang-wenang dan ngawor yang sia-sia. Pikiran tidaklah tubuh yang bisa ditebas dan di bunuh oleh algoco. Ada yang tidak bisa mati dan ditundukkan begitu saja oleh siapapun bahkan kekuasaan yang paling kuat sekalipun yaitu pikiran.

Mati. Mungkin lebih baik buat al-Hallaj. Karena tidak lagi dia harus mengomel dan mencaci dirinya sendiri yang sering direbut Tuhan. Dia tidak lagi dipandang gila oleh oang-orang pasar. Dia tidak lagi dianggap musyrik para tokoh-tokoh yang berkuasa itu, yang tidak mengerti pertarungan dalam jiwanya. Dia tidak harus binggung-binggung mencoba untuk mengambarkan Tuhan dengan keterbatasannya. Karena pada mati itu dia akan menuju.

Allau a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 17/09/2007
*Sebuah catatan tengah malam

Tidak ada komentar: