Senin, November 12, 2007

Lulus = Kembali...

Well. Finally. Hal yang aku tunggu-tunggu selama ini turun juga; penggumuman kelulusan. Dua bulan lebih aku menunggu. Dan seperti yang kalian tau bahwa menunggu adalah hal yang menjemukan dan menyiksa bukan?.

Malam itu tanggal 3/11 kawan serumahku: Norman, akan datang dari Indonesia. Dan saya sudah merencanakan menjemput di Bandara jam 23.00. Rangkulan akrab tanda lama tak bertemu terluap, setelah kawanku itu liburan ke indonesia empat bulan yang lalu. Sesampai di rumah beberapa kawan sudah menunggu. Ada yang menunggu titipan, oleh-oleh rokok Indonesia atau jajan, atau sekedar cerita terbaru tentang pertiwi; negeri yang sudah lama kita tinggal jauh di sana.


Malam berjalan pagipun mulai datang. Meski angin menghembus dingin lewat celah cendela, kawan-kawan tidak begitu terganggu. Obrolan malam itu masih tetap asyik dan seperti tidak ada yang mau mengganggu, meski kantuk sekalipun. Di tengah-tengah lingkaran ada rokok Sampoerna Mild. Ada camilan Indonesia. Ada kopi juga teh sariwangi. Benar-benar suasana seperti di Indonesia meski sebanrnya tidak. Ada hal-hal lucu dalam obrolan malam itu, yang itu menyebabkan semua kawan-kawan melepas tawa begitu saja. Juga hal-hal sedih dan mengerikan tentang sebuah negeri; negeri kita sendiri: Indonesia.

“Indonesia sekarang mengerikan”. Kata kawanku yang baru datang itu, “hidup semakin keras. Nyari kerja susah meski lulusan luar negeri. Nyari duit apalagi, susahnya mintak ampun, anak-anak muda juga semuanya pada rusak sosialnya”.

Kamarku seperti puncak terbalut kabut. Bukan kabut tapi asap rokok yang mengepul terbelenggu dikamar. Terkunci tak bisa kesana-kemari. Asap rokok hanya berputar-putar mengitari kamar dan itu samasekali tidak menganggu perbincangan malam waktu itu. Bahkan semakin mengepul asap itu semakin asyik obrolan itu.

Dari cerita kawanku yang baru datang itu aku teringat desaku yang dulu. Desa yang terletak di pinggiran laut Jawa Timur itu. Desa yang meski kecil tapi bagiku menyenangkan. Desa yang kata kawan-kawanku pelosok tapi bagiku seperti surga. Setiap liburan kuliah di Jakarta dulu. Aku seing nongkrong dengan kawan-kawan lamaku; kawan ketika masih SD dulu. Tanpa alas apapun di atas pasir putih kering kita bercerita. Cerita tentang kehidupan kita masing-masing. Aku sering ceritakan pada kawan-kawan lamaku itu tentang kehidupan jakarta yang keras dan kejam. Pun kawanku cerita tentang anak siapa sekarang yang menjadi incaran mata jejaka di desaku. Dari informasi kawanku itulah aku menyambung sejarah desaku yang sempat terputus ketika saya kuliah di Jakarta. Dan ketika saya di sini; di negeri para Nabi. Aku benar-benar kosong tentang perkembangan kampungku itu.

Gemericik ombak memainkan pantai. Angin berirama dengan berhembus. Gebyukan ombak dan desir angin saling menyatu seperti nyanyian tanpa nada tapi berirama. Rokok terkapar disebelah bungkusan kopi yang kita beli dari warung seberang jalan raya; dipojokan desa. Di pinggir pantai putih itu biasa saya menghabiskan waktu malam bersama kawan-kawan lamaku. Kita bertukar. Kita saling cerita tentang apa saja disuasana malam tanpa kengerian. Malam yang benar-benar hening dan tenang. Malam desaku yang kecil dan damai.

Saya sering merindui suasana dulu itu. Bahkan ketika malam di sini, melalui cendela saya menatap bintang-gemintang dan bulan, yang dulu sering saya lakukan dengan kawan-kawanku itu di atas pasir putih. Dengan posisi tubuh terlentang kelangit seperti menantang dewa. Kita membujur mengarah pada langit, kadang sesekali kita duduk menatap lurus memperhatikan temaram lampu nelayan dipermainkan ombak. Sambil merokok. Sambil bercerita. Sambil menikmati desah ombak. Sambil merasai desiran angin pantai. Benar-benar aku rindui suasana dulu itu. Suasana desaku.

Dari cerita kawanku yang baru pulang liburan itu. Saya teringat beberapa hari yang lalu. Disaat saya telephone keluargaku. Kata ibuku, desa yang dulu kamu tinggal sekarang berubah. Benar-benar berubah. Anak-anak muda menjadi kota. Suasana desa juga berubah kota. Lahan alas sebelah pantai dulu yang kamu sering main bersama kawan-kawanmu itu, sekarang dibangun pelabuhan. Pantai sebelah desa yang dulu sering dipakai kemah anak-anak sekolah dulu, sekarang sudah menjadi tempat wisata dengan nama Wisma Bahari Lamongan. Semuanya berubah Nak. Berubah. Berubah suasana juga berubah kehidupannya. Kamu kalau pulang harus benar-benar bisa menjadi dirimu. Menjadi anakku yang dulu; anak yang berprinsip meski saat hidup dalam antah- berantah.

Saya jadi benar-benar rindu suasana pantai disaat malam seperti dulu. Malam yang diam tapi bicara. Malam yang hening tapi bermakna. Tapi dari cerita ibuku itu. Sepertinya itu hanya sebuah kenangan yang tak berulang. Pantai yang dulu aku dan kawan-kawanku buat nongkrong itu mungkin sekarang sudah musnah terganti darmaga. Kawan-kawanku yang dulu sering ngobrol tentang kehidupan itu mungkin sekarang juga sudah mulai berubah. Tapi hidup adalah waktu dan ruang yang tak mungkin berulang bukan?.

Penggumuman kelulusan itu sudah turun. Dan alhamdulilah saya lulus. Dan itu artinya saya harus pulang tahun ini. Saya sudah bosan hidup di Mesir ini. Hidup yang seperti merabakan tangan dalam kabut. Aku ingin hidup yang sebenar-benarnya hidup. Meski pikiran dan segalanya aku pertaruhkan. Tapi lagi-lagi aku teringat cerita kawanku yang baru datang liburan itu. Lagi-lagi aku teringat kata ibuku lewat telephone itu. Dan dalam diri saya seperti ada ketakutan yang mendalam. Ada kegelisahan yang memuncak. Apa yang harus aku lakukan disaat aku pulang nanti?.

“jadilah kau orang yang berprinsip nak”, kata ibuku pada suatu hari sebelum saya pergi ke Mesir. Dan...”ya Bu anakmu sampai sekarang mencoba untuk itu. Dan meski ada ketakutan. Meski ada kegelisahan. Aku tetap akan pulang Bu. Karena disanalah duniaku. Aku akan tetap pulang Bu. Meski Indonesia adalah resah. Meski Indonesia adalah ketakutan. Meski Indonesia adalah kegelisahan. Meski Indonesia adalah kematian. Karena disanalah tumpah darahku Bu. Di sanalah aku harus mempersembahkan hidupku”.

Kairo Lorong Sepuluh, 11/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, November 10, 2007

Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sesat?. Penistaan?

Belum juga kering dibenak kita. Penggeroyokan kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat. Belum hilang itu dari benak. Dan sekarang muncul lagi masalah yang sama persis. Kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan segala pernik-pernik ajarannya menggelambung. Spontan Indonesia geger. Media-media komat-kamit memberitakan perihal itu. Orang-orang pintar kalang kabut.

Departemen agama yang punya peran penting dalam masalah ini. Gerah dan sontak membentuk panitia kecil untuk meneliti lebih jauh ajaran kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah, setelah MUI (Majlis Ulama Indonesia) menyatakan sesat aliran itu. Perihal itu simpel saja sebenarnya. Hanya persoalan nyeleneh dan tidak. Persoalan masih tetap dalam koridor atau sudah nyelempang dari rel. Alias sesat.

Pada siapa sebenarnya hak untuk sesat dan menyesatkan?. Benar dan menyalahkan?. Semua orang punya hak untuk itu. Tapi apakah kita bisa seenaknya menggunakan hak itu?. Bukankah setiap manusia berhak untuk memilih jalannya masing-masing?. Banyak jalan menuju Tuhan, kata pepatahnya.


Kebebasan beragama. “Orang bebas dalam berkeyakinan”. Al-qur’an menegaskan itu. Manusia bebas beragama atau tidak ber-Tuhan sekalipun. Manusia secara pribadi bebas memilih jalan menuju Tuhan. Jalan yang berliuk-liuk dan sesat sekalipun. Permasalahan yang muncul sekarang adalah. Bagaimana kalau lingkup privasi itu dilebarkan ke khalayak?. Bagaimana kalau takwil dan tafsir pribadi atas agama itu ditebar dan dijadikan tandingan atas ajaran yang sudah kokoh berdiri?. Dan ujungnya terjadilah penodaan agama. Terjadilah pelecehan agama. Terjadilah bentrok kepercayaan. Disini persoalan tidak lagi menjadi simpel tapi pelik dan komplek. Masihkah kebebeasan beragama?.

Dalam agama ada sisi yang tidak bisa diganggu gugat. Al-ma’lum min al-din bi al-dharurah, kata orang-orang arab. Dan Tuhan –sebagai yang Maha-. Dan nabi Muhammad –sebagai nabi penutup-. Dan al-qur’an – sebagai pedoman agama Islam-, bukankah sisi yang tidak bisa diotak-atik dalam sekup keberadaan dan kebenarannya dalam Islam?.

Saya tertawa sendiri ketika menyaksikan wawacara pemimpin kelompok Al-qiyadah dengan Metro tv itu. “muhammad adalah uswatun hasanah” kata Ahmad Moshaddeq ketika diwawancarai. Tapi pada saat yang sama dia berkata: “saya belum melakukan sholat lima waktu, jangan bilang tidak”. Dia menjadikan Nabi Muhammad panutan, tapi juga memposisikan diri sebagai penentang Nabi. Bukankah sholat adalah ajaran Nabi Muhammad?. Dan bukankah menjadikan Nabi Muhammad panutan artinya kita harus melakukan ajaran-ajarannya yang berlandaskan wahyu?.

Agama itu seperti menu sate. Disaat manusia menjatuhkan pilihan “saya makan menu sate”. Maka seketika itu juga dia tidak bisa menolak yang namanya daging, tusuk dan bumbu. Dan daging, tusuk dan bumbu itulah yang dalam agama dinamakan Al-ma’lum min al-din bi al-dhorurah. Sesuatu yang maklum. Sesuatu yang jelas dan pasti.

“saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad. Muhammad tigabelas tahun menjadi Nabi tapi belum melakukan sholat lima waktu. Nabi melakukan sholat ketika malam, pada saat di Makkah. Dan sayapun begitu”. Lebih jauh lagi sangkal pemimpin aliran Al-qiyadah yang juga dipanggil Haji Salam itu, ketika ditohok kenapa belum melakukan sholat lima waktu. Entah apa yang dilakukan Nabi seandainya Beliau bangkit lagi. Membenarkan atau meluruskan?. Saya tidak tau. Dan yang saya tau Nabi Muhammad belum melakukan sholat lima waktu pada saat di Makkah karena belum adanya perintah dari Tuhan. Belum terjadi peristiwa Isra’ dan mi’raj.

Ada masa-masa yang telah dilewati Nabi. Masa ketika di Makkah. Disaat orang-orang masih dalam kejahiliyaan. Ada masa-masa kejayaan setelah Beliau melakukan hijrah. Dan itulah puncak kesempurnaan agama Islam sebagai agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Dan pada saat Haji Salam (panggilan lain Ahmad Moshaddeq), mengatakan bahwa “saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad” apakah itu tidak berarti menjadikan masa sekarang adalah masa jahihiliyah?. Dan semua manusia tau bahwa masa itu sudah berlalu.

Dalam beragama tak ubahnya seperti main catur. Kita bebas menjalankan bidik yang ada. Kuda bebas berjalan asal bergerak membentuk leter “L”. Cumcum kemanapun bisa bergerak selama jalan lempeng yang dia tempuh. Ada aturan. Dan kita bebas dalam menjalankannya selama tidak keluar dari aturan main. Lebih-lebih keluar dari lapangan catur.

Sesatkah?. Salahkah?. Bukan disitu permasalahannya. Tapi bagaimana kita menghadapi fenomena semacam itu. Ada kedewasaan. Karena dalam dialognya Ahmad Moshaddeq masih membuka pintu bahwa “Saya sanggup berdialog dengan siapapun”. Ada kesempatan untuk adu argumen. Dan ada kesempatan untuk saling mengingatkan dan meluruskan jika memang benar-benar salah dalam mentakwil dan mentafsir mengenai agama.

Pembunuhan pemikiran supaya tidak beredar di masyarakat adalah perbuatan sia-sia. Kita tidak setuju dengan pemikiran seseorang atau kelompok, serang ide dan pemikirannya. Bukan kelompok, apalagi sosok seperti yang sering dilakukan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Mereka mengkeroyok. Menyerbu dan menghakimi sendiri. Bukankah agama mengajarkan kita beradaptasi secara manusiawi?. Itu hanya perbuatan sia-sia karena sosok boleh mati. Kelompok boleh hilang. Tapi ide dan pikiran selamanya akan terus hidup selama belum terbunuh. Ini yang perlu kita kedepankan. Bukan penggeroyokan dan pengadilan masa.

Syeikh Siti Jenar yang dihukum mati oleh sunan kudus bukanlah karena pemikirannya. Melainkan resah yang kalau sampai menjalar ke masyarakat. Jenar dipancung. Kepalanya putus. Dan selanjutnya mengelinding tiga kali mengitari jasadnya. Kepalanya bertaut kembali dengan tubuhnya dan tidak ada bekas luka. Tampak bahwa hukuman pancung sunan kudus hanyalah kesewenangan yang sia-sia. Ada yang tidak mati. Kepala lambang pemikiran tak bisa ditundukkan dengan pedang sekalipun. Dan itu artinya pemikiran akan sia-sia jika dilawan dengan kekerasan.

Sesatkah?, salahkan Ahmad Moshaddeq?. Hanya Tuhan yang tau. Karena “kita baru tau Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama’ kuno dan Islam menurut yang lain-lainnya”. Kata Ahmad Wahib dalam pergolakannya. Tapi penistaan agama. Penodaan agama itulah yang harus kita perhatikan. Karena kita semua berteduh dalam sekup yang kita beri nama Indonesia. Maka jangan sampai kita berpecah meski kita tidak sama.

Allahu a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 10/11/2007
Ket. poto dijepret di padang pasir gunung sinai Mesir

Selengkapnya......

Minggu, November 04, 2007

Sedikit Komentar Buat Tulisan Mas Aab

Barusan saya mengunjungi Blogspot sahabat saya di Indonesia di alamat: http://abdul-hakim.blogspot.com/. Tulisan itu bertema "Konfrontasi, Sejarah yang berulang?". Melihat tanggalnya tulisan itu sudah lama diposting. Juga sudah lama sebenarnya perihal itu; perang yang tak kunjung meledak. Begitu saya membahasakan Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dari tulisan sahabat saya itu.

Meski sudah lama masalah itu. Entah. Setelah saya membaca tulisan sahabat saya itu terus terang saya marah dan sempat panas. Darah saya seperti membuncah ingin muncrat. Mungkin terlalu rapi dan detail sahabat saya itu menulis geger antara dua negara yang bersebelahan itu; Indonesia Malaysia. Sejak geger tahun 1960-an sampai sekarang ditulis rinci dan penuh profokasi saya kira.

Awalnya saya berniat untuk mengkomentari langsung di Blogspot sahabat saya itu. Tapi karena settingnya yang entah saya susah sekali masuk. Akhirnya saya tulis komentar itu disini. Komentar itu begini.....


...Dan sayapun berkesimpulan bahwa hargadiri kita sebagai bangsa diinjak dan dipermainkan. Dan sayapun bertanya. Kemana harga diri kita?. Semua diam. Bahkan diam yang paling garang sekalipun.

"hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri". Kata Nietzsche pada suatu hari. Rentetan yang dibeberkan lewat tulisan oleh sahabat saya itu, apa kalau tidak menuju pada apa yang dikatakan Nietzsche itu?. Benar katamu Nietzsche. Ya benar. Bahwa tujuan hidup "bukanlah kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melainkan perang". Dan itu sepertinya yang dilakukan monster yang berkedok saudara itu.

Dan kitapun masih mencoba untuk berkelakuan manusia. Sabar dan mangut-mangut. Kita berteduh pada sifat kemanusiaan. Tapi kita tidak sadar pada saat itu juga hargadiri kita dirampok hewan yang bersemayam persis disebelah tembok rumah kita.

"khaos tidak selamanya harus dihindari, karena kadang dialah yang melahirkan matahari". Gunawan Mohammad bilang. Benturan kadang dibutuhkan karena dari itu kita bisa membuktikan bahwa kita bangsa yang bermartabat dan tidak bisa dipermainkan. Tapi itukah yang akan kita tempuh?. Ini bukan zaman jahiliyah. Juga kita bukan dewa.

Bangsa yang disegani dan dihormati. Mungkin itu hanya angan. karena sampai sekarang itu masih "tanda tanya" yang jawabnya "entah". Selamanya Indonesia tidak akan bisa berjalan apalagi lari, selama kaki kita terbelenggu oleh kepicikan dan ketololan anak negeri sendiri.

Akupun masih berharap kapan?. Mungkin nanti disaat ruang dan hari selesai yang itu artinya kiamat. Dan lagi-lagi aku bertanya. Kapan?. Dan lagi-lagi semua diam. Tapi kali ini ada yang senyum meski senyum yang paling hambar sekalipun. I LOVE U INDONESIA

Kairo Lorong Sepuluh, 5/11/2007
Ket. Gambar diambil dari Goggle Searching

Selengkapnya......

Sabtu, November 03, 2007

Kairo itu Dunia Mimpi

“Kairo itu dunia mimpi”, kata kawanku dari seberang nun jauh di sana, Indonesia. Mungkin ada benarnya kalimat itu. Tapi mungkin juga salah. Bukankah disaat kita lelap dalam mimpi kitah toh akan bangun nantinya?. Setiap manusia ada tahap masing-masing. Ada masa disaat kita harus bermimpi, itulah masa disaat kita belajar bagaimana membangun cita-cita untuk menapaki jalan panjang. Juga ada masanya kita harus bangun, dan itulah hidup nyata setelah kita lama menata dan mencoba untuk membangun tembok kehidupan dari bata-bata yang kita kumpulkan dimasa kita belajar.

Tapi saya kadang merasa untuk meng-iya-kan apa kata sahabat saya lewat telephone itu. Lebih-lebih disaat saya seperti ini. Saya hari-hari ini merasa hidup saya hampa. Hampa dalam artian merasa tidak ada yang berarti samasekali.


Jam tujuh kadang sembilan pagi baru mulai tidur. Bangun kadang jam dua atau jam tiga sore. Semalam penuh tidak tidur baru jam tujuh atau sembilan pagi mulai tidur. Begitu keseharian saya. Karena saya merasa hidup yang “tidak berarti” tadi. Kadang saya mencoba untuk memeranginya dengan baca, jalan menyusuri lorong-lorong kairo atau apa saja yang bisa mengusir perasaan “tidak berarti itu”. Tapi masih saja hidup ini seperti kosong dan menjemukan. Mungkin ada benarnya kawanku itu, bahwa hidup di Mesir ini mimpi. Belum nyata. Hidup yang masih berkutat dalam benak. Hidup yang bukan sebenarnya hidup.

Menunggu. itu mungkin faktor yang menyebabkan saya merasa dalam keseharian ini kosong. Jemu dan membosankan. Entah kapan penggumuman kelulusan itu di tempel?. Saya tidak sabar ingin bangun dari hidup yang menjemukan ini; hidup yang nyata. Di sana di negeri saya tercinta.

Benar-benar menjemukan hari-hari dalam penantian ini. Yang seharusnya deg-degkan menunggu lulus atau tidak jadi luntur, karena terlalu lama masanya. Bahkan kadang merasa lena dan nyaman. Empires

Gama Empires akhirnya manjadi pelampiasan. Semalam saya main Game ini. Sudah lama sebenarnya saya tidak main game itu. Game kesukaan saya. Lima jam saya main game itu. Dari jam satu malam sampai jam enam pagi. Random Map setting yang aku pilih. Level dark Age, Feudal Age, Castle Age lalu level terakhir Imperial Age. Dan saya menang.

Puas karena menang. Sayapun merokok sambil merenung. Dan...“hidup ini seperi Game Empires”. Tiba-tiba benakku berkesimpulan seperti itu. Ada prinsip yang harus kita pegang, bahwa kita harus menang dalam permainan dengan segala strategi kita. Pun dalam hidup harus ada titik klimaks yang kita tempuh, agar hidup ini nyaman dan tidak diberontak oleh apa saja. Itulah yang dinamakan prinsip.

Dalam game Empires kita harus melewati lavel-lavel tertentu, untuk menjadi sempurna dan kuat dari serangan apapun. Ada lavel Dark Age dimana kita harus mengumpulkan dan menampung. Sampai nanti lavel Imperial Age yang disaat itu kita benar-benar bisa segalanya dan mampu untuk menyerang dan menindas lawan. Pun dalam hidup ada masa-masa tertentu. Ada masa kita harus belajar, atau dengan bahasa yang agak sedikit keren; mahasiswa. Sampai nanti kita benar-benar siap untuk menyerang dan menapaki hidup yang penuh dengan terjal.

Buku harian saya buka dan...”hidup dengan prinsip dan peganggan akan merasa nyaman meski kadang menjemukan dan banyak rintangan, sebaliknya hidup tanpa itu adalah keledai yang hanya membebek kemana majikan mengarahkan”. Itu yang saya catat dalam buku harian saya.

Dan saya sekarang merasa nyaman setelah berkesimpulan seperti itu. Prinsip yang dulu sempat pudar akhirnya terajut kembali dan seperti berkuncup lagi.

Mungkin “hidup di Kairo itu mimpi” itu ada benarnya kawan. Tapi sekarang saya berani berkata lantang bahwa hidup itu bukan mimpi, tapi hidup adalah kenyataan sejak kita dilahirkan sampai kita mangkat nanti. Hidup adalah kenyataan selama hidup kita berprinsip dan bertujuan kawan. Dan itu yang saya coba jalani sekarang kawan.

Kairo Lorong Sepuluh, 3/11/2007

Selengkapnya......