Selasa, Oktober 30, 2007

Kekuasaan adalah Tuhan

kekuasaan adalah tuhan. Mungkin kata itu terlalu berlebihan tapi begitulah kira-kira menurut saya. Tuhan mampu untuk mencipta dan meniadakan. Sang penguasa juga mampu untuk berbuat semenanya. Berbuat seperti yang dikehendaki pikiran dan nafsunya. Benarkah demikian?. Saya tidak berani menjawab “ya” atau “tidak”. Karena Indonesia lengkap semuanya.

barangkali itulah sebabnya orang-orang di atas sono berbondong-bondong menyusun strategi, mengumpulkan kekuatan untuk menjadi Tuhan. Semua orang yang berpengaruh dalam kanca nasional didekati. Di bisiki dengan katabelece-katabelece yang syarat dengan senyum. Cara yang halus tapi memperkosa. Strategi yang sopan tapi menekan.


Kekuasaan adalah segalanya. Sampai yang masih aktif menjabatpun ikut tergiur. Ikut-ikutan berkatabelece kesana-kemari. Bahkan tanpa tedeng dan aling-aling, orang yang sudah jelas-jelas terbukti tidak becus dan sangat menggelikan dalam memimpin juga tidak malu-malunya untuk mencalonkan diri lagi. Artinya kekuasaan politik memang harus, meski antah-berantah yang lebih parah endingnya. Semua orang jadi ambisi untuk menjadi Tuhan. Serakah untuk menjadi pemimpin dan berkuasa. Dan kekuasaan akhirnya tujuan akhir dan titik. Setelah menggapai sudah itu berhenti.

Ambisius memang baik. Columbus menemukan Amerika dengan ambisi dan keserakahan. Giambattista Vico dari abad ke-18 pernah mengatakan: dari ambisi manusia dan keserakahanlah telah lahir banyak hal yang baik di dunia, keserakahan jugalah yang mendorong manusia menciptakan teknologi-teknologi yang memukau. Ambisi dan keserakahan di sini tidak hanya berhenti pada mencita-citakan dan mencapai. Pada mencaplok dan menelan. Pada penggapaian dan menduduki. Tapi dengan segala resikonya mereka mampu mengatakan pada dunia bahwa keserakahan dan ambisius yang mereka tempuh benar-benar terbukti. Sayang tidak ambisius dan serakah yang seperti ini yang terjadi di negara kita.

Indonesia yang dalam guncangan saat ini butuh pemimpin. Butuh sosok Gajah Mada yang tidak rakus jabatan tapi mumpuni, “kenapa paman Arya Tadah tidak bicara kepada saya dulu?,”. sangkal Gajah Mada ketika Mahapati Arya Tadah bermaksud menjagokan Gajah Mada sebagai gantinya menjadi orang nomer dua setelah Raja. Gajah Madah mampu menjalankan jabatan Mahapati itu tapi menolak. Toh akhirnya Prabu Putri Dyah Wiyat berkata : “Demi membagnun Majapahit yang besar. Majapahit yang jaya dan gemilang, diperlukan tangan yang kukuh, kuat dan kekar. Majapahit menunjuk Gajah Mada”. ”. Tulis Langit Kresna Hariadi dalam Novelnya Gajah Mada Hamukti Palapa.

Kekuasaan politik, disamping kompetensi juga kerapian dalam mendesain program ke depan dan segala bentuk aplikasinya. Pemimpin sejati adalah bukti bukan janji dan orasi di sana-sini. Tapi bagaimana kita bisa percaya kalau yang berlangsung sekarang adalah, sebuah lomba penampilan pribadi?. Bagaimana kita bisa percaya kalau demokrasi sekarang tidak jauh dari katabelece-katabelece menggiurkan dan tekanan-tekanan?. Dan akhirnya demokrasipun menjadi momok . Rakyat digiring untuk dijadikan gembalaan. Mulutnya disumpal meski tidak dengan rumput. Demokrasipun cacat oleh mereka yang menggemborkan demokrasi. Dan rakyat sudah terlambat sadar bahwa pemimpin adalah malapetaka bagi publik.

Pada fenomena yang seperti itu saya teringat sosok Socrates yang tidak menyukai demokrasi. Pada saat Athena kuno. Rakyat terbiasa dengan hak suara dan bicara, Socretes menantang. Dia punya ide sendiri tentang penguasa yang ideal. Pemimpin menurut dia, bukan dipilih oleh orang banyak tapi dipilih oleh “mereka yang tau”. Mungkin pemilihan pemimpin seperti ini lebih baik daripada pemilihan yang melibatkan rakyat yang tak ubahnya seperti robot yang dikontrol untuk mengatakan “iya” atau “tidak”. Dan Socratespun biinggung ketika ditanya siapa “mereka yang tau” itu?...dan demokrasi menjadi jawaban meski perjalananya penuh rintang dan halangan. Dan demokrasipun kadang menjadi momok pada fenomena Indonesia sekarang bukan?. Tapi kita perlu.

Kairo Lorong Sepuluh, 30/Oktober/2007

Selengkapnya......

Sabtu, Oktober 27, 2007

'Menunggu'

Ada yang ingin saya sampaikan di sini, hal itu mengenai kelulusan kuliah saya. Tapi saya menjadi ragu ketika dengar desas-desus dari kawan. Cerita-cerita dari sahabat. Bahwa hasil kontrol langsung ke gedung Rektorat tidak meyakinkan. Pegawai rektorat bilang kalau “anda lulus”. Tapi kadang hasil itu bisa belok seratus persen dengan apa yang ditempel di papan penggumuman nanti; “anda tidak lulus”. Juga sebaliknya. Dari situ saya gamang untuk mau mengontrol kelulusan saya ke gedung rektorat.

Dari sejak saya kuliah di sini. Baru sekali saya kontrol langsung ke gedung Rektorat, karena keluarga saya sudah tidak sabar untuk menyuruh saya cepat-cepat pulang kalau lulus. Tapi kontrol kelulusan ketika itu tidak menghasilkan seperti apa yang diingini keluarga saya dan saya sendiri khususnya. Saya tidak lulus. Dan itu artinya saya tidak bisa pulang waktu itu dan harus setahun lagi di sini. Itu terjadi satu tahun yang lalu.


Hari ini tidak seperti biasanya. Saya bangun pagi meski matahari sudah terasa panas dan jam ada pada angka sepuluh. Tapi bagiku itu tergolong pagi karena hidup saya biasanya tak ubahnya kampret atau kalong atau kelelawar yang merasa tidak nyaman dengan matahari. Saya tidak takut matahari tapi saya merasa nyaman saja ketika malam karena kesunyian adalah kedamaian bagiku.

Tiba-tiba dalam benak saya terbesit dan tergugah untuk berangkat ke gedung Rektorat. Entah padahal beberapa hari ini saya sama sekali tidak kepikiran masalah kelulusan itu. Saya pasrah apapun hasilnya. Dan saya merasa nyaman untuk tidak memikirkan kelulusan itu. Tapi entah hari ini tiba-tiba saya terusik untuk cepat-cepat mandi dan pergi ke gedung Rektorat. Sayapun pergi mengikuti kata hati.

Pegawai Rektorat seumuran bapakku terlihat sibuk, mencatat, mencoret, membolak-balik kertas, dan sesekali memasukkan lintingan rumput kering; Cleopatra ke mulutnya. Dan,

“mohon maaf pak ganggu, bisa gak pak saya ingin kontrol kelulusan saya?, Please la pak”.
“kamu jurusan apa?”.
“Akidah Filsafat pak”, balasku.

Dia tinggalkan kertas yang tadi dibikin sibuk. Berdiri membuka lemari dan buku tebal dibuka. Dan

“nomer kamu berapa dan nama kamu siapa?”.
“Abdul Karim bin Musdal pak 1342”.

Buku tebal itu dibuka dan nama Abdul Karim bin Musdal tertulis di sana. Saya sudah melihatnya dan saya juga sudah tau apa hasilnya.

Tapi entah saya ragu untuk mengatakan itu. Saya juga ragu untuk membenarkan apa yang tadi saya lihat. Jadi gamang juga saya untuk mengabari keluarga saya di Indonesia yang sudah tidak sabar menyuruh saya untuk cepat pulang. Karena lagi-lagi saya teringat kasus kawanku itu. Lagi-lagi teringat desas-desus itu. Tidak lulus ketika kontrol di Rektorat belum tentu tidak lulus di papan penggumuman. Pun sebaliknya di gedung Rektorat mungkin dibilang lulus bisa jadi di papan penggumuman tidak lulus.

Entah apa masalahnya. Mungkin terlalu banyak mahasiswa. Mungkin juga karena proses belum selesai tuntas sehingga masih ada nilai mata kuliah yang belum masuk ke gedung Rektorat ketika kita kontrol. Atau mungkin pegawai di Rektorat itu salah melihat atau seenaknya sendiri menjawab karena banyak pekerjaan yang lebih penting. Semuanya mungkin. Tapi saya melihat dengan mata kepala sendiri.

Dan meski demikian saya harus tetap tidak menyampaikan kepada siapapun sampai penggumuman benar-benar ditempel, yang entah saya lulus atau tidak. Tapi yang jelas aku sudah sangat rindu sekali kepada Indonesia.

Kairo lorong sepuluh, 27/10/2007




Selengkapnya......