Sabtu, Desember 22, 2007

Hujan

Dari cendela kamar aku menghadap keluar. Pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Hujan itu tidak lama kejadiannya; hanya beberapa menit dan tidak deras. Tapi bagiku di Negeri ini; Mesir, hujan seperti itu adalah kerinduan yang selalu aku tunggu. Kerinduan suara gerimis. Kerinduan bau tanah yang terguyur. Kerinduan dedaun pohon yang kinclong tersiram hujan, yang kesemuanya mengingatkan saya pada Indonesia di sana.

Hujan yang hanya sekian kali terjadi di Mesir itu jadi hal yang menyenangkan bagiku, karena itu saya lekas membuka cendela ketika kawan serumahku dengan nada keras bilang “hujan...diluar hujan”. Hujan adalah kerinduan. Paling tidak bagi saya yang dari asia. Mungkin juga bagi orang lokal sini; hujan adalah berkah setelah kering kerontang meretakkan padang pasir.


Tapi hujan di Indonesia adalah melankolik. Lebih-lebih pada dasawarsa terakhir ini. Dari internet saya menyaksikan media-media ribut mengabarkan banjir, longsor atau tanggul-tanggul yang jebol karena tak kuat menahan tampungan air. Tidak di Kota juga tidak di Desa, tidak di gang-gang juga tidak di jalan besar, tapi keseluruhannya. Hujan menjadi malapetaka. Hujan menjadi sebuah kecemasan di Indonesia. Di saat langit bergerak dan mulai gelap perlahan-lahan, orang-orang resah dan sedih karena sebentar lagi adegan air meluap akan terjadi. Tragedi banjir hujan dan air mata akan dimulai.

Masih segar dalam ingatan saya. Dulu. Di tahun 2002 disaat saya masih ngekost di sudut kawasan IAIN, yang sekarang menjadi UIN, persisnya di daerah bernama gang Bungur. Di saat mendung merangkak dan mulai menebal, disaat itu juga saya dan kawan-kawan harus siap-siap mengangkat apa saja yang masih di bawah. Juga harus siap-siap ngungsi ke kost kawan atau kemana saja asal tidak di kost. Karena disaat hujan turun dan kita masih di tempat kost sama halnya kita menjebakkan diri kita sendiri. Tempat yang biasa kita gunakan belajar, lesehan atau main gitar dengan kawan-kawan penuh air sampai sedengkul. Air menggenang, wc kost meluap, tai berkeliaran, banjirpun terjadi. Dan disaat itu dengan murung kita berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana.

Tapi pada saat liburan kampus dan saya pulang kampung. Saya menyaksikan keriangan dan keceriaan pada wajah-wajah desaku yang mayoritas tani itu di saat hujan turun. “alhamdulillah, akhirnya hujan turun juga Mbok”, kata tetanggaku dengan paras penuh kebahagiaan berkata pada istrinya. Anak-anak kecil juga berlari-larian sambil telanjang menikmati guyuran air dari langit itu. Ada yang sekedar lari-lari. Ada yang main bola. Ada yang membuat selokan-selokan kecil untuk lalunya air yang mengalir.

Bagi saya ketika di kampung. Hujan menjadi kerinduan. Setelah hujan redah dengan sepeda atau motor, saya sering keluar rumah hanya sekedar menghirup bau tanah atau dedaunan yang tergerojok hujan. Saya senang menikmati bau-bau itu. Bau yang hanya ada disaat hujan tiba.

Ada sebuah paradoks disaat hujan turun. Orang-orang kota bisa berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana. Tapi mungkin tidak bagi orang-orang desa. Apa yang menyebabkan munculnya kesimpulan itu?. Hujan atau banjir?.

Hujan sejak zaman adam sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Orang pasti meng-iya-kan itu. Rintik-rintik, gerimis atau deras. Begitulah hujan terjadi.

Dulu hujan bukanlah bencana seperti yang sering kita saksikan sekarang. Orang-orang akan selalu berdoa agar dimusimnya nanti hujan tidak telat datangnya. Hujan adalah penantian yang selalu diharapkan. Dengan itu kita bisa berkata bahwa hujan bukanlah sebab bencana itu.

Dan sudah pasti banjir, tentunya. Tapi apa yang menyebabkan banjir?. Kita telah tau sebabnya. Penebangan pohon yang berlebihan, perluasan daerah modern, penataan kota yang sembarangan tanpa kanal, luasnya tanah yang terbungkam sehingga tidak mampu menyerap air, atau ulah tangan manusia yang lainnya.

Sebuah keingginan. Tapi bagi saya bukanlah keingginan tapi ketamakan dan kerakusan tanpa otak. Orang ingin meraup uang sebanyak mungkin dari hasil penebangan pohon. Pemerintah ingin perluasan kota agar negara terlihat megah dan mentereng dengan mall-mall, perumahan atau pebrik-pabrik. Daerah-daerah ingin semua jalan teraspal agar disaat jalan bisa tergelincir dengan mulus dan nyaman. Sesuatu telah berubah, memang. Tapi hujan tetaplah hujan yang begitu sejak dulu sampai sekarang.

Apa mau dikata. Ketika ketamakan tidak dengan cepat kita sadari. Alam yang kita taklukkan. Alam yang kita tata seenak udel, berubah menjadi malapetaka. Dan berkahpun menjelma menjadi bencana. Dan gemuruh manusia mengalahkan alam kini seperti tak berdaya dengan alam yang sudah terlanjur porak-poranda. Kitapun binggung dan salah kaprah. Dan kita telat untuk menyelamatkannya. Kekuatan perlahan-lahan remuk oleh banjir, tanah longsor, tanggul bobol atau yang lainnya. Terlambat sudah kita menyadarinya.

Dari cendela kamar aku menghadap keluar, pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Guyur yang melahirkan bau tanah yang sedap, menggoyangkan pohon yang selalu aku rindukan. Tapi saya menjadi cemas dan melankolis.

Saya sekarang di negeri orang, di negeri yang hujan adalah berkah dan hanya beberapa kali terjadi dalam satu tahun. Yang itu artinya suatu saat nanti saya pasti pulang dan kembali ke negeri, yang hujan bisa menjelma berkah seperti di desa-desa juga bisa bencana seperti di ibu kota yang sering saya saksikan lewat dunia maya.

Berkah menjadi bencana. Air berkah menjelmalah air mata. Dan kita manusia sudah terlambat menyadari bahwa kitalah penyebabnya.

Kairo Lorong Sepuluh, 22/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 08, 2007

Negeri Tanpa Air Mata

pada sosok imam
aku kerap berharap
sebuah negeri tanpa air mata
tapi
duka menderu, deru mendebu
luluh lanta
luka menganga, jerit mencercit
antah berantah
dan air mata tak
menemukan ujung selalu

negeriku keseluruhanya adalah tangis

pada siapa lagi aku berharap?,
mungkin pada sudut malam
aku menunggu mimpi yang masih
menyisahkan harap

dan harapan adalah
ombak yang mendebur atau
angin mendesir
yang selalu tak berujung
meski begitu
aku masih berharap
negeri tanpa air mata
sampai kapan, entah?

Kairo Lorong Sepuluh, 8/12/2007




Selengkapnya......