Minggu, September 30, 2007

Dengan Pisah Kita Mengerti Jumpa

Suasana bandara internasional itu seperti sunyi. Diam yang penuh makna. Meski ribuan orang lalu lalang kesana-kemari. Meski suara gaduh terdengar disana sini.

Dalam raut wajahnya ada kebahagiaan sekaligus kesedihan yang dalam. Bahagia karena beberapa jam lagi kaki dia sudah menginjak bumi sendiri, setelah lima tahunan dia terpental di bumi Pyramida ini. Dan sedih karena dalam kebahagian itu ada satu tragedi penikaman. Bukan manusia, tapi tetautan emosional yang sangat erat; persahabatan.

Sejak 2002 kita sudah saling tertaut dalam satu nama; Nel-Daroyn. Tepatnya sebelum kita berangkat ke Kairo, ketika kita masih sama-sama digembleng di salah satu tempat di sudut Jakarta; Ceger. Dan sampai sekarang persahabatan itu masih seperti ranting dan daun. Saling menyatu. Atau seperti buah dan biji. Yang benar-benar satu.

Dalam waktu yang buram dan terang kita sering bersama. Dalam ruang yang sempit dan longgar kita sering bercengkrama. Juga pada setiap musim sering kita sama-sama melempar hayal kita lepas begitu saja. Dan akhirnya “kapan kita pulang ya?” keluar begitu saja. Dan kita sama-sama tertawa hambar karena rindu akan pulang itu terbiarkan begitu saja kering. Tidak setiap rindu kita harus meluapkannya, tapi kadang rindu itu terpaksa harus kita bunuh untuk hal-hal tertentu.

Persahabatan amat perlu bagi siapapun dan kapan saja. Kata Aristoteles. Disaat kita susah, disaat kita senang kadang sahabatlah orang yang paling paham akan diri kita. Meski kita punya saudara sedarah sering kita merasa pada sahabatla kita merasa teduh dari terik kehidupan yang kita hadapi.

Dalam pamitnya ada senyum yang mengambang dan penuh teka-teki. Antara senang dan bahagia. Antara pisah dan terus bersama. Tidak ada air mata pada matanya yang berkaca. Tapi aku berani memastikan meski mata tidak leleh hatinya luluh dan runtuh ketika lambaian terakhir dia angkat. Lambaian tragedi untuk sebuah persahabatan.

Dia harus pulang dan aku harus masih di sini memunggut sisa waktu yang masih tanda tanya. Dia harus pergi dan aku harus masih di sini menanti papan penggumuman itu nempel untuk yang kesekian kali. Dia harus hilang dari mesir. Dan itu artinya kita harus berpisah untuk sementara dan mungkin selamanya.

Pisah kadang perlu. Dan persahabatan akan tampak lebih erat oleh pisah.


Ariel, Riani, Zafran, Ian dan Genta sudah tujuh tahun menjalin persahabatan. Tapi pada suatu waktu mereka seperti ada kejenuhan. Seperti ada yang hilang diantara mereka. Tulis Donny Dhirgantoro dalam novelnya yang berjudul 5 cm. Mereka berlima akhirnya memutuskan untuk berpisah selama tiga bulan. Mereka sepakat. Dan pada 14 agustus semuanya kumpul kembali di puncak gunung pulau jawa; mahameru. Mereka merayakan reuni. Dan menemukan kembali arti sebuah persahabatan. Persahabatan mereka seperti awal sebelum datang kejenuhan. Dan dari perpisahan mereka justru menemukan arti pertemuan. Persahabatan yang menggetarkan.

Warso Winata namanya. Dia dari Cirebon. Sahabatku itu akan pulang hari ini. Balik kenegeri. Meski persahabatan kita seperti daun dan ranting atau buah dan isi, tapi kita sama-sama sadar, suatu waktu daun itu akan runtuh, isi itu akan pisah oleh musim. Dan kita sama-sama sadar mugkin disebalik musim itu akan bersemi kuncup-kuncup persahabatan yang indah.


Suasana bandara itu seperti sunyi. Dan dalam raut wajahnya ada kebahagiaan sekaligus kesedihan. Dia melambaikan tangan dan akupun melambai. Dalam diam aku berucap SELAMAT JALAN KAWAN.

Kairo Lorong Sepuluh, 01/10/2007

Selengkapnya......

Minggu, September 23, 2007

Catatan Dari Sebuah Pertemuan

Aku akui. Setelah aku melihat papan penggumuman itu hidupku jadi tak karuan. Hidup ini seperti tidak ada harapan, kabur. Kemana-mana murka. Kemana-mana seperti ada bisikan “kau kalah”. Dan ini kali pertama.

Saya jadi teringat kata-kata Gunawan Mohammad, “kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk”. Situasi telah menjepitnya untuk tunduk tapi akal melarang untuk takluk.

Dasar permasalahannya berbeda memang. Gunawan dipaksa takluk oleh berbagai tekanan atas kemerdekaan jurnalistik waktu itu. Tapi aku tidak ada tekanan darimanapun. Aku hanya dipaksa mau tidak mau harus menerima sebuah kenyataan, mau tidak mau harus takluk oleh papan penggumuman itu. Itu artinya aku tidak lagi dijepit tapi ditindih dan diperkosa untuk ‘mau’. Dan memang harus begitu adanya. Dan aku akui akalku tidak menerima itu. Aku sudah sangat rindu sekali pada Negeriku. Akalku berontak tapi keadaan telah memenjarakanku.


Aku mencoba aplikasikan kata ‘boleh tunduk’ tapi ‘tak boleh takluk’ itu. Karena masih ada satu kesempatan untuk berontak lewat taswiyah (menggulang satu mata kuliah sebagai penentu lulus atau tidak). Aku berusaha habis-habisan, tapi aku sadar betul bahwa aku manusia hanya bisa berusaha dan berdoa selainnya Tuhanlah yang bicara. “man purposses God is posses” begitu kata pepatahnya. Tapi tetap saja aku masih berontak. Tetap saja aku murka pada diri sendiri.

Sampai sekarang papan penggumuman yang kedua itu belum juga turun. Dan lagi-lagi hidup ini keburu lunglai. Seperti tidak ada harapan, apalagi ketika aku teringat betul bagaimana ujianku ketika taswiyah kemarin. Lagi-lagi aku kabur, lagi-lagi ada bisikan ‘kau akan kalah’. Tapi akal sehatku tetap berontak, hati nurani selalu berkoar untuk tidak mau takluk. Dan ini kali yang kedua.

Dan semenjak itu, hidup ini seperti apa adanya. Aku jalani dengan sangat tawar sekali. Dengan sangat hambar.

Seperti itulah aku sekarang. Sampai datang undangan dari komunitas para penyair di Kairo. Aku datang. Dan sepertinya sudah biasanya acara itu hanya lempar-lempar ide dan pikiran. Obrol sana-sini tentang seseorang yang kebetulan waktu itu adalah Gunawan Muhammad yang dibincangkan. Terus terang saya banyak belajar dari orang satu ini lewat tulisan-tulisannya. Pun saat sekarang aku belajar dari kata-katanya.

Dan sepertinya juga sudah biasa, setelah obrolan itu ditutup acara di sambung dengan deklamasi puisi. Ruangan itu seperti pecah seketika. Ambyar tertendang suara-suara pecinta kata. Satu persatu berkoar, berontak seperti mau bilang “inilah kata meski diam tapi punya kekuatan”.
Ruangan itu kadang hening sejenak, dan bising lagi oleh suara dan tidak lama hening lagi dan mengoar lagi. Begitulah keadaannya.

Tiba-tiba suara datar menguap dari “Kwatrin tentang sebuah poci” Gunawan Mohammad.

....................
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
Dan kita membikinnya abadi
....................

Sama sekali tidak ada yang berharga dari tubuh utuh kita ini. Tubuh yang mulanya hanya dari tanah liat yang kelak kan retak. Apa yang membuatnya abadi hanya sebuah ilusi; sebuah salah pandang yang kita ciptakan sendiri. Dan itu hanya ilusi tidak lebih. Itu hanya permainan angin tidak berwujud.

Dan entah tiba-tiba aku merasa hidupku ini seperti tergugah kembali setelah mendengar itu. Seperti merasa betul bahwa aku ini manusia yang tidak lain hanyalah tanah liat.

Seketika jiwa ini seperti terbetot dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba pada balik kertas aku mencoret,

Terima Kasihku
Pada berisik suara kalian itu
Aku tangkap kembali jiwaku
Yang lama direbut waktu

Pada buncah semangat kalian itu
Aku temukan aku yang hidup
Meski nanti retak dan kan pecah

Eh...tiba-tiba ada anak bayi datang masuk rumah
.


Kairo lorong sepuluh, 23/09/2007

Selengkapnya......

Jumat, September 21, 2007

Yang Terkenang Dan Yang Terbuang

Apakah hanya yang terkenang saja yang patut untuk kita ingat, sedang selainnya harus kita buang jauh-jauh, dan sebisa mungkin kita anggap bahwa itu seakan-akan tidak pernah terjadi pada diri kita?.

Pertanyaan yang mendasar itu muncul setelah kemarin diajak kawan saya yang sebentar lagi mau pulang ke indonesaia foto-foto. Ambil gambar dibeberapa tempat yang menurut dia layak dan patut untuk diingat atau kata dia “tempat-tempat yang ngangeni”. Gang dan lorong-lorong yang sering kita lewati kita jepret. Tempat jualan juz buah, Cafe yang biasa kita nongkrong mendiskusikan hal apapun kita jempret dari segala posisi. Dan tentu tak ketinggalan pinggiran Nil yang bersejrah dan ramai itu.


Saya nyeletuk pada kawan saya itu “tempat ketika kamu di putus pacar kamu pren, perlu kayaknya kita jepret juga?”. “ah, itu tidak perlu dikenang, hal-hal yang kelam harus kita buang jauh-jauh”, jawabnya singkat. Sepertinya terbesit dalam benak kawan saya itu bahwa semua hal yang ‘ngangeni’ saja yang patut untuk diingat, hal yang enak-enak saja yang layak untuk kita catat sebagai sejarah selainnya tidak. Apakah harus seperti itu?.

Saya pikir tidak. Tidak hanya hal-hal yang ngangeni saja yang harus diingat. Tapi hal yang kita pernah terjerumus, kita pernah terluka, kita pernah tersandung, baik waktu dan ruangnya itu juga saya pikir wajib untuk diingat dan dikenang, layak untuk kita catat atau kita dokumenkan sebagai satu sejarah kelam sekalipun. Memang kelam tapi patut dicatat saya kira.

Saya teringat pernah suatu hari saya membaca buku orang-orang sukses sedunia. Dalam buku itu dipaparkan sejarah kelam orang-orang sukses itu, tapi karena mereka menganggap bahwa ketidakberhasilan atau sejarah pahit itu adalah hutang yang wajib dilunasi, akhirnya mereka camkan dalam benak masing-masing, mereka ingat dan mereka telaah sedemikian rupa. Kenapa bisa seperti itu?. Mereka berjuang mati-matian untuk melunasi hutangya. Dan pada ujungnya mereka semua sukses dan berhasil menguncang Dunia berkat meninggat hal-hal yang kelam pada diri mereka. Berkat menganggap bahwa itu hutang, dan wajib dilunasi. Mereka menggunakannya sebagai senjata, menggunakannya sebagai tangga untuk meniti pada yang dicita.

Hal-hal yang pahit dan getir akan menjadi batu penghalang buat kelangsungan hidup setelahnya, kita akan jatuh sakit atau seperti teracuni, alias tidak ada semangat hidup kalau kita tidak membuangnya. Mungkin seperti itu yang ada dalam benak kawanku itu. Tapi bukankah dari yang pahit itu kita belajar?, bukankah dari yang kelam itu kita berguru?, bukankah dari yang tersesatkan itu kita mengingat dan selanjutnya kita tau bahwa semua itu tidak perlu terjadi lagi pada diri kita masing-masing.

Dari yang ‘tidak enak’ maupun yang ‘enak’ dikenang itulah kita menyempurnakan diri kita sebagai manusia yang utuh. Dan sejarah baik ria maupun duka dalam diri kita adalah guru yang paling bijak bukan?.

Kairo lorong sepuluh, 21/09/2007


Selengkapnya......

Senin, September 17, 2007

Tumbal Kekuasaan*

Tubuh itu terlalu tua untuk diseret kesana kemari diluar kehendaknya. Tidak ada perlawanan sedikitpun ketika pesuruh-pesuruh itu membawanya. Dia pasrah, tapi pada pasrahnya seperti ada pemberontakan yang diam, seperti ada jerit kebenaran yang menggeram hendak menantang, hendak mengucap “apa salah saya?”,tapi pak tua itu lebih memilih diam katimbang menantang.

Pak tua itu memang aneh menurut ukuran khalayak, dan sebab keanehannya itulah dia harus diganjar dengan hukuman mati. Dia sering mengomel di tengah pasar melantunkan kata-kata yang menurut umum hanya orang gila yang berkata seperti itu.

“Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri…..”. Sepontan semua orang dipasar menoleh padanya dan serentak berkata GILA!

Ada yang tidak bisa dimengerti dari pak tua itu, sesuatu yang terpendam dalam jiwanya, ada arena pertarungan batin yang hebat dalam jiwanya, yang tidak bisa dipahami begitu saja. “wahai engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri”. Omel dia pada suatu hari. Ada satu kesatuan yang menyatu dalam dirinya yaitu Tuhan. tapi bisakah Tuhan yang “Maha segalanya” itu dijabarkan dalam satu kata yang jelas terbatas oleh ruang dan waktu itu?.

Saya jadi teringat penyair Sutardji Calzoum Bachri yang juga pernah mencoba untuk menjabarkan tuhan lewat kata-kata: “ aku telah nangkap manusia dengan tangan”, tulisnya “dengan meriam dengan ide dengan fikiran”, Namun “cuman jejakMu saja yang aku dapatkan pada mereka”. Ada satu batas yang tidak bisa ditembus. Hanya jejak yang bisa ditemu oleh Sutardji. Dan jejek tidaklah sebenarnya bukan?. Ada sesuatu yang tidak bisa dijabarkan.

Tuhan tidak akan bisa kita pahami seperti kita memahami ilmu matematika. Berproses dari satu titik awal dan sampai tiba disuatu titik akhir. Chairil Anwar juga menulis sajak yang terang-terangan tentang Tuhan tetapi ia tahu betapa

.....susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh


“ana al-haqq” (akulah yang maha benar). dalam salah satu syairnya pak tua itu menulis. Lagi-lagi dia bikin gaduh. Melahirkan sesuatu yang bombastis. Sesuatu yang membikin para tokoh pada waktu itu kelabakan dan gerah.
Ada yang tidak bisa dibedakan oleh pak tua itu, dua hal yang benar-benar jauh satu sama lain yaitu Tuhan yang “Maha lain” dan dirinya sendiri sebagai manusia yang “juga lain”.

Pak tua itu dituduh melecehkan agama. Dituduh kafir lantaran kelakuannya yang aneh itu. Darahnya halal dan wajib diberangus dari muka bumi. Terlalu mudahnya manusia mengecap mati. Cap yang hanya “Maha lain” yang semestinya punya hak untuk itu telah diperkosa. Telah di rebut dari tangan Tuhan. Dimana kesadaran sebagai manusianya?.

Di mahkamah yang dipimpin Abi Umar, pak tua itu hanya diam ketika dibacakan tuduhannya. “Kau telah mengaku sebagai Tuhan, kau telah mengatakan bahwa kaulah yang telah menghidupkan yang mati, dan kau bilang bahwa segala perbuatan yang anda kerjakan atas petunjuk wahyu”. Kata hakim dipersidangan membacakan tuduhan itu.

Beberapa kalangan menganggap pak tua itu sebagai wali, ada juga yang memandang sebagai bentuk kesadaran paham esoterik, bahkan ada yang meyakininya sebgai Nabi. layak saja mempunyai banyak pengikut dimana-mana.

Selama bertahun-tahun pak tua itu mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina. Selain melakukan kunjungan dakwah ke para pengikutnya, juga karena dia sering jadi buronan dimana-mana. Di makkah misalnya, dia pernah dicari-cari Umar Al-makkiy karena menentang al-quran. Akhirnya dia keluar dari mekkah. Apa artinya hidup menetap kalau hidup pribadi kita dirampas?. Mungkin begitu pikir pak tua itu.

Ada banyak kekuatan politik yang mendominasi lekuk-lekuk kehidupan pada waktu itu. Dan wajar bukan setiap kekuatan berpikiran setiap yang bahaya setiap itu juga harus diberanggus?. Proteksi dimana-mana, orang terbungkam, selain mulut juga pikiran sering di belenggu untuk tidak neko-neko. Manut pada siapa yang paling kuat. Pada siapa yang paling berkuasa waktu itu. Kekuasaan benar-benar segalanya. Dan imbasnya pak tua jadi perhatian para pemuka agama waktu itu, dia diinteli dimana-mana.

Pak tua itu di tuduh terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya berperan aktif membakar emosi rakyat. Dari bukti-bukti yang di temukan di rumah-rumah para pengikutnya, yaitu sejumlah besar dokumen dan naskah-naskah kritis, akhirnya penguasa abbasiyah mengintruksikan militernya untuk menangkap Pak tua itu. Di rumahnya dia di ciduk di bawa ke mahkamah dan sederet tuduhan dibacakan padanya.

Pak tua itu menggeram, melantang dengan suaranya yang penuh dengan pemberontakan “ aku berlindung kepada Allah, demi tuhan aku tidak berkata kalau aku adalah tuhan, kalau aku adalah nabi. Aku adalah manusia biasa yang menyembah tuhan dan mengikuti nabi, aku adalah lelaki biasa yang masih mengerjakan sholat dan puasa”.

Apalah daya pembelaan ketika kekuasaan manjadi segalanya. Ketika kekuasaan hampir mirip seperti Tuhan. Punya hak untuk menentukan mana yang layak untuk hidup dan tidak.

Beberapa saksi laki-laki dan perempuan didatangkan. Tidak ada satupun saksi yang membela pak tua itu. Justru sebaliknya semua berkata jauh dari fakta, jauh dari kenyataan yang betul-betul telah terjadi pada pak tua itu untuk yang sebenarnya. Pak tua itu hanya tersenyum mungkin sambil berpikir “jangan anggap kau bisa merampas otakku meski mulut dan tubuhku kau bungkan dan kau pendam”.

“ketika saya tidur dia mendatangiku dan menyetubuhiku”, kata seorang saksi perempuan yang cantik dan seksi itu dimahkamah.

**********

Abu ja’far bin bahlul –salah satu hakim di mahkamah- mengintruksikan bawahanya untuk menggeledah rumah Pak tua itu. Beberapa dokumen lagi di temukan, sebagian dokumen itu ditulis memakai sandi yang hanya dia dan para pengikutnya yang tau apa arti sandi itu.

Tapi ada satu buku yang aneh yang didapat dari rumah pak tua itu. Isinya sukup mengejutkan para hadirin. Buku itu menjabarkan tata cara haji. Tata cara itu tidak seperti yang banyak tertanam dalam benak umum. Karena haji cukup menganggap kamar Pak tua itu sebgai ka’bah, towaf cukup berkeliling kamarnya, setelah itu mengumpulkan tiga puluh anak yatim, memeberi makan dan sandang pada mereka lalu membagi-bagikan uang setiap anak yatim sebanyak tujuh dirham. sempurnalah sudah haji seperti itu.

Semakin dekat kematian pada pak tua itu.

Selembar kertas digilir dari satu hakim ke hakim yang lain untuk ditandatangani sebagai hasil final bahwa Pak tua itu layak untuk mati. Melihat itu pak tua terlihat tenang tanpa gusar sedikitpun meski kematian sudah dekat seperti kedekatan Tuhan pada dirinya. Pak tua itu berkata: “pungunggku terlindungi dan darahku haram, apa yang kalian tuduhkan semua bertentangan dengan madzhab dan sunnahku, saya punya kitab yang menunjukkan sunnahku yang sebanarnya, sungguh Tuhan di dalam darahku”. Semakin kuat kedekatan Tuhan pada dirinya. Dan semakin dekat pula kematian menghampirinya.

Para hakim tidak menghiraukan ucapannya, sepertinya sudah sangat bulat sekali kalau darah Pak tua itu memang benar-benar halal dan sudah tidak layak untuk hidup. Ah..seperti mereka saja yang memberi hidup?.

Orang-orang ramai, riuh berdesak-desakan, kontras sekali dengan waktu yang masih pagi itu. Pagi yang seharusnya hanya embun dan kabut padang pasir yang punya hak untuk mengusik, hanya suara alam dengan hembusan anginnya yang masih dingin yang seharusnya bersuara. Tapi tidak pada pagi itu, orang-orang juga ramai ikut mengusik pagi. Menyaksikan pak tua itu untuk mati. Sebentar lagi.

Dan semakin dekat kematian pada pak tua itu. Seperti dekatnya Tuhan pada dirinya yang tidak bisa dijabarkannya.

Pada wajah Pak tua itu tidak sedikitpun terlihat rasa takut, gemetar ataupun gusar. Tubuhnya terlihat tidak setua umurnya. Sebelum dieksekusi dia mintak sajadah dan izin barang sebentar untuk melakukan sholat. Lagi-lagi ada kekontrasan. Pak tua yang diangap syirik dan kafir itu masih sholat. Dan itu artinya masih mengakui bahwa dia manusia yang punya kewajiban menyerahkan sepenuh dirinya pada Tuhan. berarti dia sadar bahwa dirinya manusia dan Tuhan yang disembahnya.

Setelah melakukan sholat dia senyum, senyum dengan seindah-indahnya senyum, seperti habis bertemu kekasih dan saling mengikat janji. Senyumnya seperti pertanda, seperti satu isyarat bahwa sebentar lagi dia akan menemui kekasihnya, menemui orang yang selama ini sering merampas tubuhnya.

Di depan kerumunan tubuh dia diperlakukan seperti hewan korban. Diseret tanpa kemauan dia sendiri. Dan dia mati tepatnya pada tahun 309 H didepan mata para hadirin yang telanjang. Mati dia seperti maklumat untuk para pengunjung bahwa siapa saja yang melakukan hal yang neko-neko dengan kekuasaan akibatnya akan seperti Pak tua ini. Mati dengan cara yang tidak sewajarnya.

**********

Pada perjalanan selanjutnya ada satu buku yang menggemparkan. Namanya “Al-thawasin”. Buku yang dibilang aneh namanya oleh orang-orang pintar itu mengabarkan banyak hal atas apa yang terjadi sebenarnya pada pak tua itu.

Pak tua itu ternyata tidak salah. Tidak benar apa yang telah di tuduhkan padanya. Dan semua saksi yang di hadirkan, dan semua tuduhan yang diajukan pada waktu mahkamahnya itu hanyalah sebuah lakon yang sudah disutradarai. Para saksi juga dibayar dan diintruksikan untuk menguatkan bahwa Pak tua itu benar-benar harus salah sehingga halal untuk dibunuh. Mana yang salah mana yang benar tidak lagi jelas ketika dihadapkan pada kekuasaan.

Penangkapan Pak tua itu bukan sebab pikiran dan pendapat-pendapatnya, kata buku itu, melainkan karena dia dianggap salah satu pentolan kelompok Qaramitiyah (salah satu kelompok syiah yang di tuduh sesat). Kelompok ini salah satu oposisi yang punya niat menggulingkan kekuasaan Abbasiyah, pantas dia diberantas tandas sampai akar-akarnya dengan cara apapun, bahkan dengan membalikkan yang halal menjadi haram sekalipun. Halal haram tidaklah penting ketika kekuasaan memperkosanya. Mungkin saja halal dan haram yang kita kenal selama ini dalam teks-teks buku sama halnya sejarahnya seperti sejarah Pak tua itu?.

Kekuasaan menjadi segalanya. Berpikir. kegiatan yang sah untuk dimiliki setiap manusia itu akhirnya menjadi satu tendensi untuk menuju satu pencapaian.

Kematian seseorang bukan lagi hak Tuhan sekarang. Manusiapun bisa merebut itu dari Tuhan dengan kekuasaan. Pak tua itu satu buktinya. Memang benar-benar keji kekuasaan itu. “politik memang benar-benar kotor seperti Lumpur”. Kata Gie dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra.

Pak tua itu bernama Al-hallaj. Nama leangkapnya Husain bin Mansyur al-Hallaj. Sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda. Misterius dan penuh teka-teki dalam segala pola hidupnya. Alhallaj menjadi terkesan dan hidup kerena ia melambangkan perlawanan terhadap sebuah kekuasaan; kekuasaan yang semena-mena.

Tubuhnya mati. Tapi pikiran dan pendapatnya masih sering menguap dan bersuara keras bahkan lebih keras dan lebih dahsyat ketika dia masih hidup. Tampak bahwa hukuman mati Abbasyiah itu hanya sikap sewenang-wenang dan ngawor yang sia-sia. Pikiran tidaklah tubuh yang bisa ditebas dan di bunuh oleh algoco. Ada yang tidak bisa mati dan ditundukkan begitu saja oleh siapapun bahkan kekuasaan yang paling kuat sekalipun yaitu pikiran.

Mati. Mungkin lebih baik buat al-Hallaj. Karena tidak lagi dia harus mengomel dan mencaci dirinya sendiri yang sering direbut Tuhan. Dia tidak lagi dipandang gila oleh oang-orang pasar. Dia tidak lagi dianggap musyrik para tokoh-tokoh yang berkuasa itu, yang tidak mengerti pertarungan dalam jiwanya. Dia tidak harus binggung-binggung mencoba untuk mengambarkan Tuhan dengan keterbatasannya. Karena pada mati itu dia akan menuju.

Allau a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 17/09/2007
*Sebuah catatan tengah malam

Selengkapnya......

Jumat, September 14, 2007

Kau*

Buat Karim.
"masa lalu bukanlah lawan
ia seperti cinta lama, penuh
anggun, berarti

ikutkan jepit lusuh itu
sebagai kenangan dalam puisimu
kesederhanaan lebih akrab
kepada kesederdanaan"


Pamitmu pada buku kenangan yanga kau berikan padaku sesaat sebelum kau beranjak.


Pada akhirnya kau putuskan juga pilihanmu itu, pilihan yang selama ini kita bincangkan dan kau biarkan menguap begitu saja, sebab kau terlalu berat untuk meinggalkan kota ini sepertinya; kota yang terlalu lama menidurkanmu; kota yang mungkin menurutmu banyak impian, tapi apa artinya impian itu?, kalau selamanya hanya mimpi tak kunjung jadi nyata. Hidup ini fakta bukan?. tidak usah terlalu muluk hidup itu, apa yang ada itulah yang harus kita lalui bukan apa adanya kita menjalaninya.

Sudah terlalu lama kau tertidur di negeri ini, terlelap sampai kau lupa hanya untuk sekedar menguap mengelurkan bau busuk dari mulutmu itu, apalagi sekedar untuk bangun dan sadar bahwa kau ternyata selama ini dalam mimpi.

"kubawa dari rumah ini adalah memori, kubawa dari negeri ini adalah puisi" katamu pada suatu hari.

Hanya itukah yang bisa kau bawa dari negeri ini?, itu hanya daun yang setiap saat akan runtuh bukan pohon yang tegar dan utuh, itu hanya bau busuk mulutmu bukan mulut kamu yang sebenarnya. Ada yang lebih penting dari itu yaitu "kamu" untuk yang sebenarnya.

Apakah kau akan menjadi bangga dengan tidak menjadi arti sama sekali?. Apakah kau ingin seperti sampah yang tidak berarti itu?, dari omonganmu yang tanpa "R: itu aku berani memastikan bahwa itu bukanlah kamu.

"aku tidak pernah mati sebagai binar nyala,
manusia yang menjunjung angan-angannya
aku tidak pernah main-main sebagai manusia
karena menjadi manusia adalah kehormatan"


kau sendiri kan yang menulis itu?

Menjadi manusia yang sadar susah memang, tapi itulah sepertinya yang sedang kau tempuh sekarang. Tidak ada salahnya kau mimpi dan beranggan-anggan tapi menjadi salah kalau tidak ada pemberontakan sebagai bukti bahwa inilah mimpi dan angan-anganmu selama ini.

KAU
meski setiap saat kau bangun gubuk
dalam dirimu
aku yakin tidak akan pernah rampung
kau dirikan itu
sebab kau selalu kalah oleh waktu

meski kau terus kelana sekalipun
aku berani memastikan tak akan bisa kau bangun cita-cita itu
sebab putaran waktu selalu saja kau timbun
menggilasmu dan kau lena oleh mimpi-mimpimu

segala waktu milikmu kubaca
dan kau adalah kalah
yang tidak mau kalah
sebenarnya

kau yang kan pulang, kau yang kan hilang
kau yang kan membayang, kau yang kan terkenang

selamat jalan
ya..selamat jalan kawan


Kairo, 14/09/2007

*Catatan buat mingan

Selengkapnya......

Rabu, September 05, 2007

Selamat Jalan Kenangan

Dia aku anggap sahabat sekaligus adik karena umurnya yang lebih muda dari aku. Banyak masalah yang dihadapinya tiga bulan terakhir ini, tapi yang telihat jelas dari bahasa mukanya hanya satu; bahwa dia kalah lagi ditahun ini. Dua tahun dulu dia sudah pernah kalah dalam judul yang sama yaitu kuliah. Meski begitu kekuatan untuk melawan waktu itu masih tidak tampak kusut seperti sekarang.


Beberapa minggu setelah penggumuman ujian turun ada perubahan yang mencolok dari wajah biasanya. Wajah yang biasanya ceria berubah kelam, seperti tidak akan ada lagi matahari yang datang bersinar. Wajah yang biasanya banyak tertawa berubah murka seperti tidak ada lagi harapan. Wajah yang biasanya renyah bicara berubah diam yang memendam berjuta kata. Ada perubahan pada dia.

Antara TERUS atau PULANG yang harus dia pilih, tidak ada alternatif ketiga untuk menjembatani dua pilihan yang bertolakbelakang itu. Dia sudah terlalu kalah dan murung, juga pesimis untuk bisa memilih jawaban yang tapat; jawaban untuk masa depan dia juga harapan Ibu Bapaknya. Pilihanpun diserahkan Ibu Bapaknya dan akhirnya "Ya sudah nak secepatnya kamu pulang, diteruskan saja kuliahnya di Indonesia". diapun mengiyakan pilihan orang tuanya itu, simbol anak yang penurut dan patuh, meski dalam jiwanya sebenarnya masih ada sisa kekuatan untuk masih bisa melawan. Meski dalam benaknya masih ada kesadaran untuk bisa memilih antara TERUS atau PULANG. Meski dalam kegamangannya masih ada keyakinan untuk masih bisa mengatakan bahwa dia bisa. Tapi dia kalah, ya kalah untuk yang kesekian kalinya.....

MESKI KAU KALAH*

MESKI kau kalah
kau adalah masa depan yang dari
setiap desir angin kau harus belajar
kenapa daun gugur disaat musim

MESKI kau kalah
engkaulah yang suatu waktu
harus melawan debur ombak
dan badai yang menampar mukamu

MESKI kau kalah
siapa yang bisa merebut jiwamu
bukankah kau sendiri yang tau
lalu pada siapa kau harus meronta

MESKI kau kalah
aku berani memastikan masih ada sisa untuk
melawan pada setiap desis nafasmu
bukankah malam selalu menyisahkan misteri

hidup ini terjal
terlalu remeh untuk kau menyesal
dan itu kekalahan bukan?

Kairo, 05/09/2007

*Sederet kata untuk kau Ana

Selengkapnya......

Selasa, September 04, 2007

Hidup

HIDUP ini resah maka
biarkan saja seperti adanya
bukankah mendung juga berarak
diterpa angin lalu
jadi hujan

HIDUP ini sejarah maka
jalani saja mingikuti waktu
yang lalu biarlah lalu meski
jiwa kita sering terpental

HIDUP ini lari mengejar
bayang kita sendiri
tak akan pernah selesai
sampai diri ini mati
lalu pada nisan kita terkenang

Kairo, 05/09/2007

Selengkapnya......

Ungkapan

INI keraguan atau ketidakpercayaan
atau sekedar tanya yang menggebuh
INI badan sudah terlalu lelah dan kecapean
mengejarMu menangkapMu susah sungguh

INI jiwa tak mau sudah henti
menanyakanMu mencariMu pada sepi
INI jiwa terus saja menari
mungkin sampai waktunya nanti; mati

Kairo, 05/09/2007

Selengkapnya......