Jumat, September 05, 2008

Lima Bulan Berlalu...

Kurang lebih tiga bulan aku tidak bermaya. Ada banyak sebab. Diantaranya, karena aku memang orang kampung. Anak orang tani, yang itu artinya, dunia internet sangat-sangat minim di kampungku. Kedua, karena aku harus sering-sering menenagkan diri dengan lingkunganku yang serba menggetarkan. Lingkungan yang sewaktu-waktu bisa menguncangku. Aku harus banyak menyerap dari yang ada sekarang. Aku harus banyak belajar dari apa saja.

Dua bulan saya di kampung. Seperti mati dan beku. Karena kebiasaan oret-oret di komputer dan baca, entah, sama sekali tidak terkesan. Aku banyak di sibukkan oleh masa lalu-masa lalu yang lama aku tinggal. Kunjung ke sana kemari seperti mau mengulang kembali masa-masa yang dulu itu. Memang mengasyikkan dan seperti ada kepuasan batin, tapi benar-benar membahayakan jika kita terlelap. Karena disitulah pikiran kita terpasung. Aku sempat terpasung sampai lupa aku harus berbuat apa.

"Ketika anda berhenti berpikir, anda akan kehilangan kesempatan",



Kata Publilius Syrus, penulis zaman romawi. Memang ketika saya di Mesir semuanya sudah aku planing. Sebelum pulang aku sudah menata tangga pertangga, tapi setelah aku dihadapkan pada realita, penataan itu harus aku rombak kembali. Atau mungkin aku harus menghancurkannya dan mencipta lagi. Aku harus kecewa. Aku harus pasrah dan menginjak pikiranku. Rencanaku. Karena apa yang aku pikirkan dulu tak mungkin tercapai.

Sampai pada suatu malam yang hening. Benar-benar hening. Saya tidak bisa tidur malam itu, dan akhirnya saya bikin kopi. Dan di teras rumah aku membuka buku harianku. Buku yang selalu kubawa kesana kemari. Buku yang juga selalu aku coret-coret ketika ada hal yang membisik hati. Sampai aku menemukan aporisma Publilius diatas. Aku berhenti setelah membaca kata itu. Dan hisapan rokok waktu itu seperti dalam sekali menusuk. Dalam. Sampai menjelajah keseluruh celah dalam tubuhku, dan beberapa saat, serombongan asap menghembus keluar membawa kesimpulan bahwa "aku harus berpikir". Artinya aku harus selalu menghidupkan pikiran dan jiwaku for as long as I coluld. Aku harus hidup meski sudah pernah mati. Malam masih hening. Dan benar-benar tenang. Dan dalam ketenangan itu aku berucap, "aku harus berpikir dan berbuat".

"vision without action is a daydream, but action without vision is nightmare", begitulah pepatahnya. Aku terbangun dari apa yang selama ini aku lewati. Aku tergugah. Dan aku harus mulai hidup kembali. Aku harus mencipta dalam pikiran juga dalam perbuatan.

Sudah dua bulan ini saya di Jakarta. Kota yang tidak bayak perbedaan dengan lima tahun silam. Aku ke Jakarta karena dua faktor. Pertama, ingin buka usaha kecil-kecilan tapi tidak ada uang, dan kedua, ingin s2 tapi tidak punya biaya. Itulah beberapa planing yang pernah aku pikirkan sebelum pulang ke Indonesia dulu. Rencana yang pernah menguburku pada kefakuman. Ada persamaan pada dua-duanya. Bahwa uang adalah separuh nyawa kita. Dua rencana itu tidak sampai aku gapai. Akhirnya aku memutuskan aku akan ke Jakarta mencari kerja.

Dua bulan aku di Jakarta. Dan sampai sekarang aku belum menemukan kerja. Aku bilang pada senior juga familiku, Aab, bahwa, "kadang realita itu menampar dan bahkan membunuh". "tapi justru disitulah Rim kita di tuntut untuk memecahkan misteri, dan aku yakin selama ada kesabaran dan perbuatan tidak mungkin tidak ada jalan. Takdir itu 30% dari apa yang kita perbuat", katanya pada suatu obrolan malam.

"Ya mas. Aku sepaham. Aku ingin berpikir bukan berlamun. Aku ingin terjaga dan tidur dengan mimpi-mimpi yang hidup".

Bekasi, 4 agustus 2008

Selengkapnya......

Rabu, Januari 16, 2008

"MATI" sebuah kado buat guru

Baru saja ada sms dari seberang sana; Indonesia. Sms itu mengabarkan bahwa di hari ini ada yang pergi. Pergi tidak untuk kembali. Pergi tidak untuk sejenak, lalu balik lagi. Tapi pergi untuk selamanya. Pergi kedunia yang berbeda, di sana, di alam barzakh.

Yang pergi itu adalah guru saya dulu ketika masih di pesantren. Tepatnya di desa bernama Kranji-Paciran-Lamongan. Tiga tahun saya di didik beliau. Salah satu guru yang saya sukai karena gaya bicaranya yang memukau dan penuh wibawa. Sampai-sampai dulu pernah terbesit dalam ingatan saya; suatu hari nanti saya harus bisa menirukan gaya bicara beliau. Bicara yang membuat orang terkesima dan diam, lalu tenang mendengarkan. Tak pelak, setiap ada orang punya gawe beliau sering diminta ceramah. Sekarang guru saya itu telah pergi. Dan itu artinya hanya tinggal kenangan yang tersisa sekarang.

Dan begitulah manusia setelah pergi. Hanya jejak yang tertinggal.


Mati adalah antonim dari hidup. Tapi mati seperti nafas itu sendiri. Benar-benar dekat. Seperti di monyong hidung kita sendiri mati itu bertenger. Bisa kapan saja jatuh. Di saat renta. Disaat bugar ataupun sakit. Bahkan kematian bisa datang disaat jabang belum sempat menjerit dan menghirup kerasnya dunia. Mati adalah jawaban bahwa manusia fana, tidak abadi, karena yang abadi ada di sana. Manusia berkepala dan berekor: lahir dan akan mati.

Meski begitu, kadang manusia ini serakah dan sok. “Dan aku akan lebih tidak perduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Kata Chairil Anwar. Toh begitu hanya penampikan yang percuma, karena mati memang benar adanya. Dan Chairil Anwar menyadari hal itu. “Tuhan... di pintuMu aku mengetuk. aku tidak bisa berpaling”. Tulis Chairil dilain waktu. Manusia tidak bisa lari dari Tuhan. Dari yang menentukan kapan kita memulai dan kapan akan mengakhiri.

Chairil Anwar bukanlah satu-satunya yang punya naluri ingin hidup seribu tahun lagi. Ribuan tahun silam, Al-Qur’an menceritakan bahwa, Orang-orang musyrik juga ingin diberi umur seribu tahun lamanya. (Q.S. Al-baqarah 2:96). Keinginan yang serakah dan tidak tau diri.

Juga Adam dan Hawa, orang tua manusia sejagad itu. Luluh oleh bujukan syaitan yang menjanjikan hidup kekal.

“Hai Adam”, bujuk syaitan kepadanya. “maukah engkau kutunjukkan pohon Khuldi (pohon kekekalan) dan kekuasaan yang tidak lapuk”, (Q.S. Thaha.20: 120). Adam dan Hawa akhirnya lumer karena bujukan itu. Dan terusirlah mereka berdua dari surga.

Dari kisah itu. Kita memang kerap lupa, bahwa diri kita adalah retak dan akan pecah oleh waktu, atau sebab yang lainnya. Manusia akan senantiasa kalah dan tunduk, karena sejatinya adalah ketiadaan.

Mati. Yang juga dalam bahasa disebut “maut”, sering kita bayangkan sebagai sebuah kengerian yang menakutkan. Sosok yang datang dari dunia lain yang selalu mengancam diri kita. Mengintai gerak-gerik kita.

Dalam pewayangan jawa, “maut” itu adalah Yamadipati. Sosok yang digambarkan dengan ekspresi yang sangat mengerikan dan buruk. Terlihat kejam, karena di tangan kiri tergantung seutas tali yang siap menjerat siapapun.

Dalam tradisi Eropa, maut juga tidak kalah menakutkannya: maut adalah sosok manusia yang berjubah hitam pekat, dengan tangan menenteng sabit panjang yang siap menebas siapa saja yang diingini.

Mati seperti sebuah kekerasan--begitulah yang kita tangkap dari sosok yang mengerikan itu. Kita terlalu berlebihan dalam mengartikannya, karena itu kita sering enggan dan menolak untuk melewati tahap yang namanya mati itu. Padahal mati adalah tahap yang harus dilalui. Mati bukanlah akhir. Karena mati adalah awal. Babak baru untuk memulai hidup. “Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup”, kata sang filosof Socretes.

Dengan begitu mati dan hidup ada tahapannya. Pertama, mati sebelum diciptakan (dilahirkan). Kedua, hidup setelah nafas dihembuskan pada diri kita dalam kandungan, sampai selanjutnya kita menjalani pernik-pernik kehidupan dunia. Ketiga, mati setelah roh dicabut kembali oleh yang kuasa (alam barzakh). Dan yang keempat, hidup kembali setelah mati di alam barzakh.

“...jadi kematian di dunia ini hanya ketiadaan hidup di dunia”, kata Dosenku pasa saat menjelaskan esensi kematian di depan mahasiswannya.

Jadi kematian tidak perlu ditakuti. Kapan saja dan dimana saja, saya juga anda harus siap menerima kematian. Karena mati adalah tahap yang tidak bisa ditawar. Disetiap kita bernafas, disaat itulah secara tidak sadar kita menjemput mati. Hidup di dunia ini hanya arena untuk bekerja keras mencari bekal, menabung sebanyak mungkin untuk pesangon setelah mati nanti. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia. Yang selanjutnya bisa kenikmatan juga bisa kenistaan yang akan kita peroleh.

Hari-hari ini kita menyaksikan kematian berseliweran dimana-mana. Ratusan orang meninggal karena gempa. Karena tsunami. Karena banjir. Karena pesawat jatuh. Atau karena hal-hal yang remeh temeh. Dan kita tidak bisa menebak kapan kematian hinggap pada diri kita.

Siapa sangka saat keluarga yang lagi asyik bercengkrama, tiba-tiba tanggul samping rumah jebol?. Siapa sangka awalnya ingin berlibur dan bersenang-senang, tiba-tiba pesawat oleng karena cuaca?. Siapa sangka disaat kita baca koran pagi sambil menikmati teh di teras rumah, tiba-tiba kita tak berkutik di atas kursi?.

Kita lekang. Kita fana. dan sejatinya kita bukanlah siapa-siapa.

Masih segar dalam benakku, delapan bulan yang lalu, orang-orang yang saya hormati pergi. KH. Basyir Adelan dan selang beberpa waktu menyusul KH. Baqir Adelan: pemangku Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan. Dan di hari ini. Beberapa waktu yang lalu ada sms datang mengabarkan, bahwa KH. Abdul Hadi meninggal disaat menyempurnakan rukun Islam yang terekahir: haji.

Semua orang akan pergi, tak pandang saya atau anda. Semua tanpa terkecuali.

Kematian datang dan pergi dengan tidak disangka dan dinyana. Kita harus menerima. Kita harus siap dan bersedia kapan saja, karena sejatinya kita adalah daun yang menunggu kapan datangnya musim.

Selamat jalan guru. Semoga kau tenang di sisiNya. Semoga kau damai di dunia sana. Terima kasihku. Dan akan selalu ku pangku jejakmu.

Kairo Lorong Sepuluh, 10/01/2008


Selengkapnya......

Rabu, Januari 02, 2008

Tahun Baru di Nil

Di bawah deretan lampu jalan yang panjang. Di jembatan atas sungai Nil itu, anak-anak muda ramai merayakan tahun baru. Ada yang sekedar nongkrong bersama kawan-kawannya. Ada yang bermesraan sambil berdiri menghadap pada keramaian di atas air Nil, yang perahu-perahu dengan music kencang dan lampu kerlap-kerlip lalu lalang membawa manusia berkeliling. Orang-orang yang melawan dingin itu sedang menandai, bahwa waktu beberapa menit kedepan akan beranjak dari 2007 ke 2008. Diakhir Desember, seperti sudah sepakat semua manusia, bahwa di Bulan itu ada semacam ritual yang harus dirayakan dan diperingati.


Di indonesia. Empat tahun yang lalu saya pernah ikut ramai-ramai merayakan itu. Setelah orang-orang ramai menghitung mundur dari angka sepuluh, dan petasan-petasan meledak tepat setelah hitungan angka satu. Sorak-sorai menggema. Kemudian orang ramai-ramai jalan kaki dari bundaran HI menuju MONAS. Satu perayaan yang menandai bahwa dimalam itu ada yang berubah dari waktu ke waktu yang lain; zaman.

Apa sebenarnya yang dirayakan?. Tidak ada. Karena waktu toh setiap desis nafas yang berhembus selalu berubah.

Sejak hitungan BC (Before Christ)=Sebelum Masehi dan AD (Anno Domini)= Setelah Masehi, dinyatakan, waktu menjadi sempit. Seperti ada mula dan akhir. Seperti gerak linier yang membentang yang ber-start dan ber-finish. Kita manusia yang takluk pada batas begitu memahami waktu. Batas itu lahir karena kita rapuh oleh usia. Sujud oleh mati. Pada saat seperti itu mati menjadi akhir yang mengesahkan bahwa waktu berkepala dan berekor dan kita akan tamat.

“Disetiap Desember adalah menunggu”,
kata Goenawan Mohamad. Menunggu malam yang akan pergi, kalender yang akan diganti, dan harapan yang masih ngambang. Apa yang akan terjadi esok?, bagaimana kita menjajaki?.

Disetiap Desember adalah was-was yang tak kunjung tenang. Sesuatu yang belum jelas ‘juntrungnya’ dan tak teraba menunggu di depan. Segalanya menunggu. Kehidupan, kematian, kesuksesan, keterpurukan, kesenangan, musibah, atau pernik-pernik hidup yang lain. Segalanya bisa kapan saja sewaktu-waktu menyapa kita. Tidak dimulai hari esok di tahun baru, karena sejak ‘perocot’ dan kita menangis untuk pertama kalinya, semua sudah berjalan.

Disetiap Desember adalah was-was. Dan semakin mencekam cemas itu di Indonesia sekarang. Musibah terus menggelinding. Kematian datang dan pergi. Bengawan meluap. Politik memanas. Hidup semakin keras. Manusia semakin ganas, karena hidup sering membelot dari yang dicitakan. Dan was-was semakin mencekam. Dan diakhir Desember seperti bukan akhir, karena awal adalah kelanjutan. Dengan kata lain bahwa yang akan datang tidak memberi harap meski baru. Meski begitu. Manusia dimana saja tetap ramai diakhir Desember itu. Tetap berdoa dengan rasa cemas yang menusuk pada esok.

Tahun baru di Mesir, tidak seperti di Indonesia. Tidak ada yang istimewa dalam artian ritual yang menyedot masa dan hadirin. Tidak ada petasan yang meledak-ledak di angkasa tepat setelah jarum melewati angka 12. Tidak ada pentas di taman-taman nasional. Mungkin hanya di hotel-hotel dan club-club malam tahun baru terasa. Meski begitu di sepanjang Nil orang-orang ramai, juga aku dan sahabatku Norman ikut melawan dingin. Hanya sekedar berderet lalu lalang di sepanjang trotoar sungai Nil itu. Dan dimalam yang menusuk itu, semua orang seperti mengubur ‘yang lalu’ dengan cara ramai-ramai.

Apa yang terkubur?. Yang sudah, yang hancur, dan yang hilang. Begitu banyak. Bahkan tak ganjil jika diri kita sendiri telah terdaftar pada pemakaman. Diakhir Desember kita membangun nisan yang segalanya ‘yang sudah’ kita timbun di sana.

“Desember adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap dan terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa jengkal terbentang kurun waktu dimana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung”, lanjut Goenawan Mohamad.

Dan yang baru bisa membunuh juga bisa melahirkan. Tapi kita harus tetap percaya dan berani, sebab esok tidak memberi janji.

SELAMAT TAHUN BARU 2008

Kairo Lorong Sepuluh, 02/01/2008

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 22, 2007

Hujan

Dari cendela kamar aku menghadap keluar. Pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Hujan itu tidak lama kejadiannya; hanya beberapa menit dan tidak deras. Tapi bagiku di Negeri ini; Mesir, hujan seperti itu adalah kerinduan yang selalu aku tunggu. Kerinduan suara gerimis. Kerinduan bau tanah yang terguyur. Kerinduan dedaun pohon yang kinclong tersiram hujan, yang kesemuanya mengingatkan saya pada Indonesia di sana.

Hujan yang hanya sekian kali terjadi di Mesir itu jadi hal yang menyenangkan bagiku, karena itu saya lekas membuka cendela ketika kawan serumahku dengan nada keras bilang “hujan...diluar hujan”. Hujan adalah kerinduan. Paling tidak bagi saya yang dari asia. Mungkin juga bagi orang lokal sini; hujan adalah berkah setelah kering kerontang meretakkan padang pasir.


Tapi hujan di Indonesia adalah melankolik. Lebih-lebih pada dasawarsa terakhir ini. Dari internet saya menyaksikan media-media ribut mengabarkan banjir, longsor atau tanggul-tanggul yang jebol karena tak kuat menahan tampungan air. Tidak di Kota juga tidak di Desa, tidak di gang-gang juga tidak di jalan besar, tapi keseluruhannya. Hujan menjadi malapetaka. Hujan menjadi sebuah kecemasan di Indonesia. Di saat langit bergerak dan mulai gelap perlahan-lahan, orang-orang resah dan sedih karena sebentar lagi adegan air meluap akan terjadi. Tragedi banjir hujan dan air mata akan dimulai.

Masih segar dalam ingatan saya. Dulu. Di tahun 2002 disaat saya masih ngekost di sudut kawasan IAIN, yang sekarang menjadi UIN, persisnya di daerah bernama gang Bungur. Di saat mendung merangkak dan mulai menebal, disaat itu juga saya dan kawan-kawan harus siap-siap mengangkat apa saja yang masih di bawah. Juga harus siap-siap ngungsi ke kost kawan atau kemana saja asal tidak di kost. Karena disaat hujan turun dan kita masih di tempat kost sama halnya kita menjebakkan diri kita sendiri. Tempat yang biasa kita gunakan belajar, lesehan atau main gitar dengan kawan-kawan penuh air sampai sedengkul. Air menggenang, wc kost meluap, tai berkeliaran, banjirpun terjadi. Dan disaat itu dengan murung kita berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana.

Tapi pada saat liburan kampus dan saya pulang kampung. Saya menyaksikan keriangan dan keceriaan pada wajah-wajah desaku yang mayoritas tani itu di saat hujan turun. “alhamdulillah, akhirnya hujan turun juga Mbok”, kata tetanggaku dengan paras penuh kebahagiaan berkata pada istrinya. Anak-anak kecil juga berlari-larian sambil telanjang menikmati guyuran air dari langit itu. Ada yang sekedar lari-lari. Ada yang main bola. Ada yang membuat selokan-selokan kecil untuk lalunya air yang mengalir.

Bagi saya ketika di kampung. Hujan menjadi kerinduan. Setelah hujan redah dengan sepeda atau motor, saya sering keluar rumah hanya sekedar menghirup bau tanah atau dedaunan yang tergerojok hujan. Saya senang menikmati bau-bau itu. Bau yang hanya ada disaat hujan tiba.

Ada sebuah paradoks disaat hujan turun. Orang-orang kota bisa berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana. Tapi mungkin tidak bagi orang-orang desa. Apa yang menyebabkan munculnya kesimpulan itu?. Hujan atau banjir?.

Hujan sejak zaman adam sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Orang pasti meng-iya-kan itu. Rintik-rintik, gerimis atau deras. Begitulah hujan terjadi.

Dulu hujan bukanlah bencana seperti yang sering kita saksikan sekarang. Orang-orang akan selalu berdoa agar dimusimnya nanti hujan tidak telat datangnya. Hujan adalah penantian yang selalu diharapkan. Dengan itu kita bisa berkata bahwa hujan bukanlah sebab bencana itu.

Dan sudah pasti banjir, tentunya. Tapi apa yang menyebabkan banjir?. Kita telah tau sebabnya. Penebangan pohon yang berlebihan, perluasan daerah modern, penataan kota yang sembarangan tanpa kanal, luasnya tanah yang terbungkam sehingga tidak mampu menyerap air, atau ulah tangan manusia yang lainnya.

Sebuah keingginan. Tapi bagi saya bukanlah keingginan tapi ketamakan dan kerakusan tanpa otak. Orang ingin meraup uang sebanyak mungkin dari hasil penebangan pohon. Pemerintah ingin perluasan kota agar negara terlihat megah dan mentereng dengan mall-mall, perumahan atau pebrik-pabrik. Daerah-daerah ingin semua jalan teraspal agar disaat jalan bisa tergelincir dengan mulus dan nyaman. Sesuatu telah berubah, memang. Tapi hujan tetaplah hujan yang begitu sejak dulu sampai sekarang.

Apa mau dikata. Ketika ketamakan tidak dengan cepat kita sadari. Alam yang kita taklukkan. Alam yang kita tata seenak udel, berubah menjadi malapetaka. Dan berkahpun menjelma menjadi bencana. Dan gemuruh manusia mengalahkan alam kini seperti tak berdaya dengan alam yang sudah terlanjur porak-poranda. Kitapun binggung dan salah kaprah. Dan kita telat untuk menyelamatkannya. Kekuatan perlahan-lahan remuk oleh banjir, tanah longsor, tanggul bobol atau yang lainnya. Terlambat sudah kita menyadarinya.

Dari cendela kamar aku menghadap keluar, pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Guyur yang melahirkan bau tanah yang sedap, menggoyangkan pohon yang selalu aku rindukan. Tapi saya menjadi cemas dan melankolis.

Saya sekarang di negeri orang, di negeri yang hujan adalah berkah dan hanya beberapa kali terjadi dalam satu tahun. Yang itu artinya suatu saat nanti saya pasti pulang dan kembali ke negeri, yang hujan bisa menjelma berkah seperti di desa-desa juga bisa bencana seperti di ibu kota yang sering saya saksikan lewat dunia maya.

Berkah menjadi bencana. Air berkah menjelmalah air mata. Dan kita manusia sudah terlambat menyadari bahwa kitalah penyebabnya.

Kairo Lorong Sepuluh, 22/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 08, 2007

Negeri Tanpa Air Mata

pada sosok imam
aku kerap berharap
sebuah negeri tanpa air mata
tapi
duka menderu, deru mendebu
luluh lanta
luka menganga, jerit mencercit
antah berantah
dan air mata tak
menemukan ujung selalu

negeriku keseluruhanya adalah tangis

pada siapa lagi aku berharap?,
mungkin pada sudut malam
aku menunggu mimpi yang masih
menyisahkan harap

dan harapan adalah
ombak yang mendebur atau
angin mendesir
yang selalu tak berujung
meski begitu
aku masih berharap
negeri tanpa air mata
sampai kapan, entah?

Kairo Lorong Sepuluh, 8/12/2007




Selengkapnya......

Senin, November 12, 2007

Lulus = Kembali...

Well. Finally. Hal yang aku tunggu-tunggu selama ini turun juga; penggumuman kelulusan. Dua bulan lebih aku menunggu. Dan seperti yang kalian tau bahwa menunggu adalah hal yang menjemukan dan menyiksa bukan?.

Malam itu tanggal 3/11 kawan serumahku: Norman, akan datang dari Indonesia. Dan saya sudah merencanakan menjemput di Bandara jam 23.00. Rangkulan akrab tanda lama tak bertemu terluap, setelah kawanku itu liburan ke indonesia empat bulan yang lalu. Sesampai di rumah beberapa kawan sudah menunggu. Ada yang menunggu titipan, oleh-oleh rokok Indonesia atau jajan, atau sekedar cerita terbaru tentang pertiwi; negeri yang sudah lama kita tinggal jauh di sana.


Malam berjalan pagipun mulai datang. Meski angin menghembus dingin lewat celah cendela, kawan-kawan tidak begitu terganggu. Obrolan malam itu masih tetap asyik dan seperti tidak ada yang mau mengganggu, meski kantuk sekalipun. Di tengah-tengah lingkaran ada rokok Sampoerna Mild. Ada camilan Indonesia. Ada kopi juga teh sariwangi. Benar-benar suasana seperti di Indonesia meski sebanrnya tidak. Ada hal-hal lucu dalam obrolan malam itu, yang itu menyebabkan semua kawan-kawan melepas tawa begitu saja. Juga hal-hal sedih dan mengerikan tentang sebuah negeri; negeri kita sendiri: Indonesia.

“Indonesia sekarang mengerikan”. Kata kawanku yang baru datang itu, “hidup semakin keras. Nyari kerja susah meski lulusan luar negeri. Nyari duit apalagi, susahnya mintak ampun, anak-anak muda juga semuanya pada rusak sosialnya”.

Kamarku seperti puncak terbalut kabut. Bukan kabut tapi asap rokok yang mengepul terbelenggu dikamar. Terkunci tak bisa kesana-kemari. Asap rokok hanya berputar-putar mengitari kamar dan itu samasekali tidak menganggu perbincangan malam waktu itu. Bahkan semakin mengepul asap itu semakin asyik obrolan itu.

Dari cerita kawanku yang baru datang itu aku teringat desaku yang dulu. Desa yang terletak di pinggiran laut Jawa Timur itu. Desa yang meski kecil tapi bagiku menyenangkan. Desa yang kata kawan-kawanku pelosok tapi bagiku seperti surga. Setiap liburan kuliah di Jakarta dulu. Aku seing nongkrong dengan kawan-kawan lamaku; kawan ketika masih SD dulu. Tanpa alas apapun di atas pasir putih kering kita bercerita. Cerita tentang kehidupan kita masing-masing. Aku sering ceritakan pada kawan-kawan lamaku itu tentang kehidupan jakarta yang keras dan kejam. Pun kawanku cerita tentang anak siapa sekarang yang menjadi incaran mata jejaka di desaku. Dari informasi kawanku itulah aku menyambung sejarah desaku yang sempat terputus ketika saya kuliah di Jakarta. Dan ketika saya di sini; di negeri para Nabi. Aku benar-benar kosong tentang perkembangan kampungku itu.

Gemericik ombak memainkan pantai. Angin berirama dengan berhembus. Gebyukan ombak dan desir angin saling menyatu seperti nyanyian tanpa nada tapi berirama. Rokok terkapar disebelah bungkusan kopi yang kita beli dari warung seberang jalan raya; dipojokan desa. Di pinggir pantai putih itu biasa saya menghabiskan waktu malam bersama kawan-kawan lamaku. Kita bertukar. Kita saling cerita tentang apa saja disuasana malam tanpa kengerian. Malam yang benar-benar hening dan tenang. Malam desaku yang kecil dan damai.

Saya sering merindui suasana dulu itu. Bahkan ketika malam di sini, melalui cendela saya menatap bintang-gemintang dan bulan, yang dulu sering saya lakukan dengan kawan-kawanku itu di atas pasir putih. Dengan posisi tubuh terlentang kelangit seperti menantang dewa. Kita membujur mengarah pada langit, kadang sesekali kita duduk menatap lurus memperhatikan temaram lampu nelayan dipermainkan ombak. Sambil merokok. Sambil bercerita. Sambil menikmati desah ombak. Sambil merasai desiran angin pantai. Benar-benar aku rindui suasana dulu itu. Suasana desaku.

Dari cerita kawanku yang baru pulang liburan itu. Saya teringat beberapa hari yang lalu. Disaat saya telephone keluargaku. Kata ibuku, desa yang dulu kamu tinggal sekarang berubah. Benar-benar berubah. Anak-anak muda menjadi kota. Suasana desa juga berubah kota. Lahan alas sebelah pantai dulu yang kamu sering main bersama kawan-kawanmu itu, sekarang dibangun pelabuhan. Pantai sebelah desa yang dulu sering dipakai kemah anak-anak sekolah dulu, sekarang sudah menjadi tempat wisata dengan nama Wisma Bahari Lamongan. Semuanya berubah Nak. Berubah. Berubah suasana juga berubah kehidupannya. Kamu kalau pulang harus benar-benar bisa menjadi dirimu. Menjadi anakku yang dulu; anak yang berprinsip meski saat hidup dalam antah- berantah.

Saya jadi benar-benar rindu suasana pantai disaat malam seperti dulu. Malam yang diam tapi bicara. Malam yang hening tapi bermakna. Tapi dari cerita ibuku itu. Sepertinya itu hanya sebuah kenangan yang tak berulang. Pantai yang dulu aku dan kawan-kawanku buat nongkrong itu mungkin sekarang sudah musnah terganti darmaga. Kawan-kawanku yang dulu sering ngobrol tentang kehidupan itu mungkin sekarang juga sudah mulai berubah. Tapi hidup adalah waktu dan ruang yang tak mungkin berulang bukan?.

Penggumuman kelulusan itu sudah turun. Dan alhamdulilah saya lulus. Dan itu artinya saya harus pulang tahun ini. Saya sudah bosan hidup di Mesir ini. Hidup yang seperti merabakan tangan dalam kabut. Aku ingin hidup yang sebenar-benarnya hidup. Meski pikiran dan segalanya aku pertaruhkan. Tapi lagi-lagi aku teringat cerita kawanku yang baru datang liburan itu. Lagi-lagi aku teringat kata ibuku lewat telephone itu. Dan dalam diri saya seperti ada ketakutan yang mendalam. Ada kegelisahan yang memuncak. Apa yang harus aku lakukan disaat aku pulang nanti?.

“jadilah kau orang yang berprinsip nak”, kata ibuku pada suatu hari sebelum saya pergi ke Mesir. Dan...”ya Bu anakmu sampai sekarang mencoba untuk itu. Dan meski ada ketakutan. Meski ada kegelisahan. Aku tetap akan pulang Bu. Karena disanalah duniaku. Aku akan tetap pulang Bu. Meski Indonesia adalah resah. Meski Indonesia adalah ketakutan. Meski Indonesia adalah kegelisahan. Meski Indonesia adalah kematian. Karena disanalah tumpah darahku Bu. Di sanalah aku harus mempersembahkan hidupku”.

Kairo Lorong Sepuluh, 11/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, November 10, 2007

Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sesat?. Penistaan?

Belum juga kering dibenak kita. Penggeroyokan kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat. Belum hilang itu dari benak. Dan sekarang muncul lagi masalah yang sama persis. Kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan segala pernik-pernik ajarannya menggelambung. Spontan Indonesia geger. Media-media komat-kamit memberitakan perihal itu. Orang-orang pintar kalang kabut.

Departemen agama yang punya peran penting dalam masalah ini. Gerah dan sontak membentuk panitia kecil untuk meneliti lebih jauh ajaran kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah, setelah MUI (Majlis Ulama Indonesia) menyatakan sesat aliran itu. Perihal itu simpel saja sebenarnya. Hanya persoalan nyeleneh dan tidak. Persoalan masih tetap dalam koridor atau sudah nyelempang dari rel. Alias sesat.

Pada siapa sebenarnya hak untuk sesat dan menyesatkan?. Benar dan menyalahkan?. Semua orang punya hak untuk itu. Tapi apakah kita bisa seenaknya menggunakan hak itu?. Bukankah setiap manusia berhak untuk memilih jalannya masing-masing?. Banyak jalan menuju Tuhan, kata pepatahnya.


Kebebasan beragama. “Orang bebas dalam berkeyakinan”. Al-qur’an menegaskan itu. Manusia bebas beragama atau tidak ber-Tuhan sekalipun. Manusia secara pribadi bebas memilih jalan menuju Tuhan. Jalan yang berliuk-liuk dan sesat sekalipun. Permasalahan yang muncul sekarang adalah. Bagaimana kalau lingkup privasi itu dilebarkan ke khalayak?. Bagaimana kalau takwil dan tafsir pribadi atas agama itu ditebar dan dijadikan tandingan atas ajaran yang sudah kokoh berdiri?. Dan ujungnya terjadilah penodaan agama. Terjadilah pelecehan agama. Terjadilah bentrok kepercayaan. Disini persoalan tidak lagi menjadi simpel tapi pelik dan komplek. Masihkah kebebeasan beragama?.

Dalam agama ada sisi yang tidak bisa diganggu gugat. Al-ma’lum min al-din bi al-dharurah, kata orang-orang arab. Dan Tuhan –sebagai yang Maha-. Dan nabi Muhammad –sebagai nabi penutup-. Dan al-qur’an – sebagai pedoman agama Islam-, bukankah sisi yang tidak bisa diotak-atik dalam sekup keberadaan dan kebenarannya dalam Islam?.

Saya tertawa sendiri ketika menyaksikan wawacara pemimpin kelompok Al-qiyadah dengan Metro tv itu. “muhammad adalah uswatun hasanah” kata Ahmad Moshaddeq ketika diwawancarai. Tapi pada saat yang sama dia berkata: “saya belum melakukan sholat lima waktu, jangan bilang tidak”. Dia menjadikan Nabi Muhammad panutan, tapi juga memposisikan diri sebagai penentang Nabi. Bukankah sholat adalah ajaran Nabi Muhammad?. Dan bukankah menjadikan Nabi Muhammad panutan artinya kita harus melakukan ajaran-ajarannya yang berlandaskan wahyu?.

Agama itu seperti menu sate. Disaat manusia menjatuhkan pilihan “saya makan menu sate”. Maka seketika itu juga dia tidak bisa menolak yang namanya daging, tusuk dan bumbu. Dan daging, tusuk dan bumbu itulah yang dalam agama dinamakan Al-ma’lum min al-din bi al-dhorurah. Sesuatu yang maklum. Sesuatu yang jelas dan pasti.

“saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad. Muhammad tigabelas tahun menjadi Nabi tapi belum melakukan sholat lima waktu. Nabi melakukan sholat ketika malam, pada saat di Makkah. Dan sayapun begitu”. Lebih jauh lagi sangkal pemimpin aliran Al-qiyadah yang juga dipanggil Haji Salam itu, ketika ditohok kenapa belum melakukan sholat lima waktu. Entah apa yang dilakukan Nabi seandainya Beliau bangkit lagi. Membenarkan atau meluruskan?. Saya tidak tau. Dan yang saya tau Nabi Muhammad belum melakukan sholat lima waktu pada saat di Makkah karena belum adanya perintah dari Tuhan. Belum terjadi peristiwa Isra’ dan mi’raj.

Ada masa-masa yang telah dilewati Nabi. Masa ketika di Makkah. Disaat orang-orang masih dalam kejahiliyaan. Ada masa-masa kejayaan setelah Beliau melakukan hijrah. Dan itulah puncak kesempurnaan agama Islam sebagai agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Dan pada saat Haji Salam (panggilan lain Ahmad Moshaddeq), mengatakan bahwa “saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad” apakah itu tidak berarti menjadikan masa sekarang adalah masa jahihiliyah?. Dan semua manusia tau bahwa masa itu sudah berlalu.

Dalam beragama tak ubahnya seperti main catur. Kita bebas menjalankan bidik yang ada. Kuda bebas berjalan asal bergerak membentuk leter “L”. Cumcum kemanapun bisa bergerak selama jalan lempeng yang dia tempuh. Ada aturan. Dan kita bebas dalam menjalankannya selama tidak keluar dari aturan main. Lebih-lebih keluar dari lapangan catur.

Sesatkah?. Salahkah?. Bukan disitu permasalahannya. Tapi bagaimana kita menghadapi fenomena semacam itu. Ada kedewasaan. Karena dalam dialognya Ahmad Moshaddeq masih membuka pintu bahwa “Saya sanggup berdialog dengan siapapun”. Ada kesempatan untuk adu argumen. Dan ada kesempatan untuk saling mengingatkan dan meluruskan jika memang benar-benar salah dalam mentakwil dan mentafsir mengenai agama.

Pembunuhan pemikiran supaya tidak beredar di masyarakat adalah perbuatan sia-sia. Kita tidak setuju dengan pemikiran seseorang atau kelompok, serang ide dan pemikirannya. Bukan kelompok, apalagi sosok seperti yang sering dilakukan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Mereka mengkeroyok. Menyerbu dan menghakimi sendiri. Bukankah agama mengajarkan kita beradaptasi secara manusiawi?. Itu hanya perbuatan sia-sia karena sosok boleh mati. Kelompok boleh hilang. Tapi ide dan pikiran selamanya akan terus hidup selama belum terbunuh. Ini yang perlu kita kedepankan. Bukan penggeroyokan dan pengadilan masa.

Syeikh Siti Jenar yang dihukum mati oleh sunan kudus bukanlah karena pemikirannya. Melainkan resah yang kalau sampai menjalar ke masyarakat. Jenar dipancung. Kepalanya putus. Dan selanjutnya mengelinding tiga kali mengitari jasadnya. Kepalanya bertaut kembali dengan tubuhnya dan tidak ada bekas luka. Tampak bahwa hukuman pancung sunan kudus hanyalah kesewenangan yang sia-sia. Ada yang tidak mati. Kepala lambang pemikiran tak bisa ditundukkan dengan pedang sekalipun. Dan itu artinya pemikiran akan sia-sia jika dilawan dengan kekerasan.

Sesatkah?, salahkan Ahmad Moshaddeq?. Hanya Tuhan yang tau. Karena “kita baru tau Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama’ kuno dan Islam menurut yang lain-lainnya”. Kata Ahmad Wahib dalam pergolakannya. Tapi penistaan agama. Penodaan agama itulah yang harus kita perhatikan. Karena kita semua berteduh dalam sekup yang kita beri nama Indonesia. Maka jangan sampai kita berpecah meski kita tidak sama.

Allahu a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 10/11/2007
Ket. poto dijepret di padang pasir gunung sinai Mesir

Selengkapnya......

Minggu, November 04, 2007

Sedikit Komentar Buat Tulisan Mas Aab

Barusan saya mengunjungi Blogspot sahabat saya di Indonesia di alamat: http://abdul-hakim.blogspot.com/. Tulisan itu bertema "Konfrontasi, Sejarah yang berulang?". Melihat tanggalnya tulisan itu sudah lama diposting. Juga sudah lama sebenarnya perihal itu; perang yang tak kunjung meledak. Begitu saya membahasakan Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dari tulisan sahabat saya itu.

Meski sudah lama masalah itu. Entah. Setelah saya membaca tulisan sahabat saya itu terus terang saya marah dan sempat panas. Darah saya seperti membuncah ingin muncrat. Mungkin terlalu rapi dan detail sahabat saya itu menulis geger antara dua negara yang bersebelahan itu; Indonesia Malaysia. Sejak geger tahun 1960-an sampai sekarang ditulis rinci dan penuh profokasi saya kira.

Awalnya saya berniat untuk mengkomentari langsung di Blogspot sahabat saya itu. Tapi karena settingnya yang entah saya susah sekali masuk. Akhirnya saya tulis komentar itu disini. Komentar itu begini.....


...Dan sayapun berkesimpulan bahwa hargadiri kita sebagai bangsa diinjak dan dipermainkan. Dan sayapun bertanya. Kemana harga diri kita?. Semua diam. Bahkan diam yang paling garang sekalipun.

"hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri". Kata Nietzsche pada suatu hari. Rentetan yang dibeberkan lewat tulisan oleh sahabat saya itu, apa kalau tidak menuju pada apa yang dikatakan Nietzsche itu?. Benar katamu Nietzsche. Ya benar. Bahwa tujuan hidup "bukanlah kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melainkan perang". Dan itu sepertinya yang dilakukan monster yang berkedok saudara itu.

Dan kitapun masih mencoba untuk berkelakuan manusia. Sabar dan mangut-mangut. Kita berteduh pada sifat kemanusiaan. Tapi kita tidak sadar pada saat itu juga hargadiri kita dirampok hewan yang bersemayam persis disebelah tembok rumah kita.

"khaos tidak selamanya harus dihindari, karena kadang dialah yang melahirkan matahari". Gunawan Mohammad bilang. Benturan kadang dibutuhkan karena dari itu kita bisa membuktikan bahwa kita bangsa yang bermartabat dan tidak bisa dipermainkan. Tapi itukah yang akan kita tempuh?. Ini bukan zaman jahiliyah. Juga kita bukan dewa.

Bangsa yang disegani dan dihormati. Mungkin itu hanya angan. karena sampai sekarang itu masih "tanda tanya" yang jawabnya "entah". Selamanya Indonesia tidak akan bisa berjalan apalagi lari, selama kaki kita terbelenggu oleh kepicikan dan ketololan anak negeri sendiri.

Akupun masih berharap kapan?. Mungkin nanti disaat ruang dan hari selesai yang itu artinya kiamat. Dan lagi-lagi aku bertanya. Kapan?. Dan lagi-lagi semua diam. Tapi kali ini ada yang senyum meski senyum yang paling hambar sekalipun. I LOVE U INDONESIA

Kairo Lorong Sepuluh, 5/11/2007
Ket. Gambar diambil dari Goggle Searching

Selengkapnya......

Sabtu, November 03, 2007

Kairo itu Dunia Mimpi

“Kairo itu dunia mimpi”, kata kawanku dari seberang nun jauh di sana, Indonesia. Mungkin ada benarnya kalimat itu. Tapi mungkin juga salah. Bukankah disaat kita lelap dalam mimpi kitah toh akan bangun nantinya?. Setiap manusia ada tahap masing-masing. Ada masa disaat kita harus bermimpi, itulah masa disaat kita belajar bagaimana membangun cita-cita untuk menapaki jalan panjang. Juga ada masanya kita harus bangun, dan itulah hidup nyata setelah kita lama menata dan mencoba untuk membangun tembok kehidupan dari bata-bata yang kita kumpulkan dimasa kita belajar.

Tapi saya kadang merasa untuk meng-iya-kan apa kata sahabat saya lewat telephone itu. Lebih-lebih disaat saya seperti ini. Saya hari-hari ini merasa hidup saya hampa. Hampa dalam artian merasa tidak ada yang berarti samasekali.


Jam tujuh kadang sembilan pagi baru mulai tidur. Bangun kadang jam dua atau jam tiga sore. Semalam penuh tidak tidur baru jam tujuh atau sembilan pagi mulai tidur. Begitu keseharian saya. Karena saya merasa hidup yang “tidak berarti” tadi. Kadang saya mencoba untuk memeranginya dengan baca, jalan menyusuri lorong-lorong kairo atau apa saja yang bisa mengusir perasaan “tidak berarti itu”. Tapi masih saja hidup ini seperti kosong dan menjemukan. Mungkin ada benarnya kawanku itu, bahwa hidup di Mesir ini mimpi. Belum nyata. Hidup yang masih berkutat dalam benak. Hidup yang bukan sebenarnya hidup.

Menunggu. itu mungkin faktor yang menyebabkan saya merasa dalam keseharian ini kosong. Jemu dan membosankan. Entah kapan penggumuman kelulusan itu di tempel?. Saya tidak sabar ingin bangun dari hidup yang menjemukan ini; hidup yang nyata. Di sana di negeri saya tercinta.

Benar-benar menjemukan hari-hari dalam penantian ini. Yang seharusnya deg-degkan menunggu lulus atau tidak jadi luntur, karena terlalu lama masanya. Bahkan kadang merasa lena dan nyaman. Empires

Gama Empires akhirnya manjadi pelampiasan. Semalam saya main Game ini. Sudah lama sebenarnya saya tidak main game itu. Game kesukaan saya. Lima jam saya main game itu. Dari jam satu malam sampai jam enam pagi. Random Map setting yang aku pilih. Level dark Age, Feudal Age, Castle Age lalu level terakhir Imperial Age. Dan saya menang.

Puas karena menang. Sayapun merokok sambil merenung. Dan...“hidup ini seperi Game Empires”. Tiba-tiba benakku berkesimpulan seperti itu. Ada prinsip yang harus kita pegang, bahwa kita harus menang dalam permainan dengan segala strategi kita. Pun dalam hidup harus ada titik klimaks yang kita tempuh, agar hidup ini nyaman dan tidak diberontak oleh apa saja. Itulah yang dinamakan prinsip.

Dalam game Empires kita harus melewati lavel-lavel tertentu, untuk menjadi sempurna dan kuat dari serangan apapun. Ada lavel Dark Age dimana kita harus mengumpulkan dan menampung. Sampai nanti lavel Imperial Age yang disaat itu kita benar-benar bisa segalanya dan mampu untuk menyerang dan menindas lawan. Pun dalam hidup ada masa-masa tertentu. Ada masa kita harus belajar, atau dengan bahasa yang agak sedikit keren; mahasiswa. Sampai nanti kita benar-benar siap untuk menyerang dan menapaki hidup yang penuh dengan terjal.

Buku harian saya buka dan...”hidup dengan prinsip dan peganggan akan merasa nyaman meski kadang menjemukan dan banyak rintangan, sebaliknya hidup tanpa itu adalah keledai yang hanya membebek kemana majikan mengarahkan”. Itu yang saya catat dalam buku harian saya.

Dan saya sekarang merasa nyaman setelah berkesimpulan seperti itu. Prinsip yang dulu sempat pudar akhirnya terajut kembali dan seperti berkuncup lagi.

Mungkin “hidup di Kairo itu mimpi” itu ada benarnya kawan. Tapi sekarang saya berani berkata lantang bahwa hidup itu bukan mimpi, tapi hidup adalah kenyataan sejak kita dilahirkan sampai kita mangkat nanti. Hidup adalah kenyataan selama hidup kita berprinsip dan bertujuan kawan. Dan itu yang saya coba jalani sekarang kawan.

Kairo Lorong Sepuluh, 3/11/2007

Selengkapnya......

Selasa, Oktober 30, 2007

Kekuasaan adalah Tuhan

kekuasaan adalah tuhan. Mungkin kata itu terlalu berlebihan tapi begitulah kira-kira menurut saya. Tuhan mampu untuk mencipta dan meniadakan. Sang penguasa juga mampu untuk berbuat semenanya. Berbuat seperti yang dikehendaki pikiran dan nafsunya. Benarkah demikian?. Saya tidak berani menjawab “ya” atau “tidak”. Karena Indonesia lengkap semuanya.

barangkali itulah sebabnya orang-orang di atas sono berbondong-bondong menyusun strategi, mengumpulkan kekuatan untuk menjadi Tuhan. Semua orang yang berpengaruh dalam kanca nasional didekati. Di bisiki dengan katabelece-katabelece yang syarat dengan senyum. Cara yang halus tapi memperkosa. Strategi yang sopan tapi menekan.


Kekuasaan adalah segalanya. Sampai yang masih aktif menjabatpun ikut tergiur. Ikut-ikutan berkatabelece kesana-kemari. Bahkan tanpa tedeng dan aling-aling, orang yang sudah jelas-jelas terbukti tidak becus dan sangat menggelikan dalam memimpin juga tidak malu-malunya untuk mencalonkan diri lagi. Artinya kekuasaan politik memang harus, meski antah-berantah yang lebih parah endingnya. Semua orang jadi ambisi untuk menjadi Tuhan. Serakah untuk menjadi pemimpin dan berkuasa. Dan kekuasaan akhirnya tujuan akhir dan titik. Setelah menggapai sudah itu berhenti.

Ambisius memang baik. Columbus menemukan Amerika dengan ambisi dan keserakahan. Giambattista Vico dari abad ke-18 pernah mengatakan: dari ambisi manusia dan keserakahanlah telah lahir banyak hal yang baik di dunia, keserakahan jugalah yang mendorong manusia menciptakan teknologi-teknologi yang memukau. Ambisi dan keserakahan di sini tidak hanya berhenti pada mencita-citakan dan mencapai. Pada mencaplok dan menelan. Pada penggapaian dan menduduki. Tapi dengan segala resikonya mereka mampu mengatakan pada dunia bahwa keserakahan dan ambisius yang mereka tempuh benar-benar terbukti. Sayang tidak ambisius dan serakah yang seperti ini yang terjadi di negara kita.

Indonesia yang dalam guncangan saat ini butuh pemimpin. Butuh sosok Gajah Mada yang tidak rakus jabatan tapi mumpuni, “kenapa paman Arya Tadah tidak bicara kepada saya dulu?,”. sangkal Gajah Mada ketika Mahapati Arya Tadah bermaksud menjagokan Gajah Mada sebagai gantinya menjadi orang nomer dua setelah Raja. Gajah Madah mampu menjalankan jabatan Mahapati itu tapi menolak. Toh akhirnya Prabu Putri Dyah Wiyat berkata : “Demi membagnun Majapahit yang besar. Majapahit yang jaya dan gemilang, diperlukan tangan yang kukuh, kuat dan kekar. Majapahit menunjuk Gajah Mada”. ”. Tulis Langit Kresna Hariadi dalam Novelnya Gajah Mada Hamukti Palapa.

Kekuasaan politik, disamping kompetensi juga kerapian dalam mendesain program ke depan dan segala bentuk aplikasinya. Pemimpin sejati adalah bukti bukan janji dan orasi di sana-sini. Tapi bagaimana kita bisa percaya kalau yang berlangsung sekarang adalah, sebuah lomba penampilan pribadi?. Bagaimana kita bisa percaya kalau demokrasi sekarang tidak jauh dari katabelece-katabelece menggiurkan dan tekanan-tekanan?. Dan akhirnya demokrasipun menjadi momok . Rakyat digiring untuk dijadikan gembalaan. Mulutnya disumpal meski tidak dengan rumput. Demokrasipun cacat oleh mereka yang menggemborkan demokrasi. Dan rakyat sudah terlambat sadar bahwa pemimpin adalah malapetaka bagi publik.

Pada fenomena yang seperti itu saya teringat sosok Socrates yang tidak menyukai demokrasi. Pada saat Athena kuno. Rakyat terbiasa dengan hak suara dan bicara, Socretes menantang. Dia punya ide sendiri tentang penguasa yang ideal. Pemimpin menurut dia, bukan dipilih oleh orang banyak tapi dipilih oleh “mereka yang tau”. Mungkin pemilihan pemimpin seperti ini lebih baik daripada pemilihan yang melibatkan rakyat yang tak ubahnya seperti robot yang dikontrol untuk mengatakan “iya” atau “tidak”. Dan Socratespun biinggung ketika ditanya siapa “mereka yang tau” itu?...dan demokrasi menjadi jawaban meski perjalananya penuh rintang dan halangan. Dan demokrasipun kadang menjadi momok pada fenomena Indonesia sekarang bukan?. Tapi kita perlu.

Kairo Lorong Sepuluh, 30/Oktober/2007

Selengkapnya......