Jumat, September 05, 2008

Lima Bulan Berlalu...

Kurang lebih tiga bulan aku tidak bermaya. Ada banyak sebab. Diantaranya, karena aku memang orang kampung. Anak orang tani, yang itu artinya, dunia internet sangat-sangat minim di kampungku. Kedua, karena aku harus sering-sering menenagkan diri dengan lingkunganku yang serba menggetarkan. Lingkungan yang sewaktu-waktu bisa menguncangku. Aku harus banyak menyerap dari yang ada sekarang. Aku harus banyak belajar dari apa saja.

Dua bulan saya di kampung. Seperti mati dan beku. Karena kebiasaan oret-oret di komputer dan baca, entah, sama sekali tidak terkesan. Aku banyak di sibukkan oleh masa lalu-masa lalu yang lama aku tinggal. Kunjung ke sana kemari seperti mau mengulang kembali masa-masa yang dulu itu. Memang mengasyikkan dan seperti ada kepuasan batin, tapi benar-benar membahayakan jika kita terlelap. Karena disitulah pikiran kita terpasung. Aku sempat terpasung sampai lupa aku harus berbuat apa.

"Ketika anda berhenti berpikir, anda akan kehilangan kesempatan",



Kata Publilius Syrus, penulis zaman romawi. Memang ketika saya di Mesir semuanya sudah aku planing. Sebelum pulang aku sudah menata tangga pertangga, tapi setelah aku dihadapkan pada realita, penataan itu harus aku rombak kembali. Atau mungkin aku harus menghancurkannya dan mencipta lagi. Aku harus kecewa. Aku harus pasrah dan menginjak pikiranku. Rencanaku. Karena apa yang aku pikirkan dulu tak mungkin tercapai.

Sampai pada suatu malam yang hening. Benar-benar hening. Saya tidak bisa tidur malam itu, dan akhirnya saya bikin kopi. Dan di teras rumah aku membuka buku harianku. Buku yang selalu kubawa kesana kemari. Buku yang juga selalu aku coret-coret ketika ada hal yang membisik hati. Sampai aku menemukan aporisma Publilius diatas. Aku berhenti setelah membaca kata itu. Dan hisapan rokok waktu itu seperti dalam sekali menusuk. Dalam. Sampai menjelajah keseluruh celah dalam tubuhku, dan beberapa saat, serombongan asap menghembus keluar membawa kesimpulan bahwa "aku harus berpikir". Artinya aku harus selalu menghidupkan pikiran dan jiwaku for as long as I coluld. Aku harus hidup meski sudah pernah mati. Malam masih hening. Dan benar-benar tenang. Dan dalam ketenangan itu aku berucap, "aku harus berpikir dan berbuat".

"vision without action is a daydream, but action without vision is nightmare", begitulah pepatahnya. Aku terbangun dari apa yang selama ini aku lewati. Aku tergugah. Dan aku harus mulai hidup kembali. Aku harus mencipta dalam pikiran juga dalam perbuatan.

Sudah dua bulan ini saya di Jakarta. Kota yang tidak bayak perbedaan dengan lima tahun silam. Aku ke Jakarta karena dua faktor. Pertama, ingin buka usaha kecil-kecilan tapi tidak ada uang, dan kedua, ingin s2 tapi tidak punya biaya. Itulah beberapa planing yang pernah aku pikirkan sebelum pulang ke Indonesia dulu. Rencana yang pernah menguburku pada kefakuman. Ada persamaan pada dua-duanya. Bahwa uang adalah separuh nyawa kita. Dua rencana itu tidak sampai aku gapai. Akhirnya aku memutuskan aku akan ke Jakarta mencari kerja.

Dua bulan aku di Jakarta. Dan sampai sekarang aku belum menemukan kerja. Aku bilang pada senior juga familiku, Aab, bahwa, "kadang realita itu menampar dan bahkan membunuh". "tapi justru disitulah Rim kita di tuntut untuk memecahkan misteri, dan aku yakin selama ada kesabaran dan perbuatan tidak mungkin tidak ada jalan. Takdir itu 30% dari apa yang kita perbuat", katanya pada suatu obrolan malam.

"Ya mas. Aku sepaham. Aku ingin berpikir bukan berlamun. Aku ingin terjaga dan tidur dengan mimpi-mimpi yang hidup".

Bekasi, 4 agustus 2008

Selengkapnya......

Rabu, Januari 16, 2008

"MATI" sebuah kado buat guru

Baru saja ada sms dari seberang sana; Indonesia. Sms itu mengabarkan bahwa di hari ini ada yang pergi. Pergi tidak untuk kembali. Pergi tidak untuk sejenak, lalu balik lagi. Tapi pergi untuk selamanya. Pergi kedunia yang berbeda, di sana, di alam barzakh.

Yang pergi itu adalah guru saya dulu ketika masih di pesantren. Tepatnya di desa bernama Kranji-Paciran-Lamongan. Tiga tahun saya di didik beliau. Salah satu guru yang saya sukai karena gaya bicaranya yang memukau dan penuh wibawa. Sampai-sampai dulu pernah terbesit dalam ingatan saya; suatu hari nanti saya harus bisa menirukan gaya bicara beliau. Bicara yang membuat orang terkesima dan diam, lalu tenang mendengarkan. Tak pelak, setiap ada orang punya gawe beliau sering diminta ceramah. Sekarang guru saya itu telah pergi. Dan itu artinya hanya tinggal kenangan yang tersisa sekarang.

Dan begitulah manusia setelah pergi. Hanya jejak yang tertinggal.


Mati adalah antonim dari hidup. Tapi mati seperti nafas itu sendiri. Benar-benar dekat. Seperti di monyong hidung kita sendiri mati itu bertenger. Bisa kapan saja jatuh. Di saat renta. Disaat bugar ataupun sakit. Bahkan kematian bisa datang disaat jabang belum sempat menjerit dan menghirup kerasnya dunia. Mati adalah jawaban bahwa manusia fana, tidak abadi, karena yang abadi ada di sana. Manusia berkepala dan berekor: lahir dan akan mati.

Meski begitu, kadang manusia ini serakah dan sok. “Dan aku akan lebih tidak perduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Kata Chairil Anwar. Toh begitu hanya penampikan yang percuma, karena mati memang benar adanya. Dan Chairil Anwar menyadari hal itu. “Tuhan... di pintuMu aku mengetuk. aku tidak bisa berpaling”. Tulis Chairil dilain waktu. Manusia tidak bisa lari dari Tuhan. Dari yang menentukan kapan kita memulai dan kapan akan mengakhiri.

Chairil Anwar bukanlah satu-satunya yang punya naluri ingin hidup seribu tahun lagi. Ribuan tahun silam, Al-Qur’an menceritakan bahwa, Orang-orang musyrik juga ingin diberi umur seribu tahun lamanya. (Q.S. Al-baqarah 2:96). Keinginan yang serakah dan tidak tau diri.

Juga Adam dan Hawa, orang tua manusia sejagad itu. Luluh oleh bujukan syaitan yang menjanjikan hidup kekal.

“Hai Adam”, bujuk syaitan kepadanya. “maukah engkau kutunjukkan pohon Khuldi (pohon kekekalan) dan kekuasaan yang tidak lapuk”, (Q.S. Thaha.20: 120). Adam dan Hawa akhirnya lumer karena bujukan itu. Dan terusirlah mereka berdua dari surga.

Dari kisah itu. Kita memang kerap lupa, bahwa diri kita adalah retak dan akan pecah oleh waktu, atau sebab yang lainnya. Manusia akan senantiasa kalah dan tunduk, karena sejatinya adalah ketiadaan.

Mati. Yang juga dalam bahasa disebut “maut”, sering kita bayangkan sebagai sebuah kengerian yang menakutkan. Sosok yang datang dari dunia lain yang selalu mengancam diri kita. Mengintai gerak-gerik kita.

Dalam pewayangan jawa, “maut” itu adalah Yamadipati. Sosok yang digambarkan dengan ekspresi yang sangat mengerikan dan buruk. Terlihat kejam, karena di tangan kiri tergantung seutas tali yang siap menjerat siapapun.

Dalam tradisi Eropa, maut juga tidak kalah menakutkannya: maut adalah sosok manusia yang berjubah hitam pekat, dengan tangan menenteng sabit panjang yang siap menebas siapa saja yang diingini.

Mati seperti sebuah kekerasan--begitulah yang kita tangkap dari sosok yang mengerikan itu. Kita terlalu berlebihan dalam mengartikannya, karena itu kita sering enggan dan menolak untuk melewati tahap yang namanya mati itu. Padahal mati adalah tahap yang harus dilalui. Mati bukanlah akhir. Karena mati adalah awal. Babak baru untuk memulai hidup. “Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup”, kata sang filosof Socretes.

Dengan begitu mati dan hidup ada tahapannya. Pertama, mati sebelum diciptakan (dilahirkan). Kedua, hidup setelah nafas dihembuskan pada diri kita dalam kandungan, sampai selanjutnya kita menjalani pernik-pernik kehidupan dunia. Ketiga, mati setelah roh dicabut kembali oleh yang kuasa (alam barzakh). Dan yang keempat, hidup kembali setelah mati di alam barzakh.

“...jadi kematian di dunia ini hanya ketiadaan hidup di dunia”, kata Dosenku pasa saat menjelaskan esensi kematian di depan mahasiswannya.

Jadi kematian tidak perlu ditakuti. Kapan saja dan dimana saja, saya juga anda harus siap menerima kematian. Karena mati adalah tahap yang tidak bisa ditawar. Disetiap kita bernafas, disaat itulah secara tidak sadar kita menjemput mati. Hidup di dunia ini hanya arena untuk bekerja keras mencari bekal, menabung sebanyak mungkin untuk pesangon setelah mati nanti. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia. Yang selanjutnya bisa kenikmatan juga bisa kenistaan yang akan kita peroleh.

Hari-hari ini kita menyaksikan kematian berseliweran dimana-mana. Ratusan orang meninggal karena gempa. Karena tsunami. Karena banjir. Karena pesawat jatuh. Atau karena hal-hal yang remeh temeh. Dan kita tidak bisa menebak kapan kematian hinggap pada diri kita.

Siapa sangka saat keluarga yang lagi asyik bercengkrama, tiba-tiba tanggul samping rumah jebol?. Siapa sangka awalnya ingin berlibur dan bersenang-senang, tiba-tiba pesawat oleng karena cuaca?. Siapa sangka disaat kita baca koran pagi sambil menikmati teh di teras rumah, tiba-tiba kita tak berkutik di atas kursi?.

Kita lekang. Kita fana. dan sejatinya kita bukanlah siapa-siapa.

Masih segar dalam benakku, delapan bulan yang lalu, orang-orang yang saya hormati pergi. KH. Basyir Adelan dan selang beberpa waktu menyusul KH. Baqir Adelan: pemangku Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan. Dan di hari ini. Beberapa waktu yang lalu ada sms datang mengabarkan, bahwa KH. Abdul Hadi meninggal disaat menyempurnakan rukun Islam yang terekahir: haji.

Semua orang akan pergi, tak pandang saya atau anda. Semua tanpa terkecuali.

Kematian datang dan pergi dengan tidak disangka dan dinyana. Kita harus menerima. Kita harus siap dan bersedia kapan saja, karena sejatinya kita adalah daun yang menunggu kapan datangnya musim.

Selamat jalan guru. Semoga kau tenang di sisiNya. Semoga kau damai di dunia sana. Terima kasihku. Dan akan selalu ku pangku jejakmu.

Kairo Lorong Sepuluh, 10/01/2008


Selengkapnya......

Rabu, Januari 02, 2008

Tahun Baru di Nil

Di bawah deretan lampu jalan yang panjang. Di jembatan atas sungai Nil itu, anak-anak muda ramai merayakan tahun baru. Ada yang sekedar nongkrong bersama kawan-kawannya. Ada yang bermesraan sambil berdiri menghadap pada keramaian di atas air Nil, yang perahu-perahu dengan music kencang dan lampu kerlap-kerlip lalu lalang membawa manusia berkeliling. Orang-orang yang melawan dingin itu sedang menandai, bahwa waktu beberapa menit kedepan akan beranjak dari 2007 ke 2008. Diakhir Desember, seperti sudah sepakat semua manusia, bahwa di Bulan itu ada semacam ritual yang harus dirayakan dan diperingati.


Di indonesia. Empat tahun yang lalu saya pernah ikut ramai-ramai merayakan itu. Setelah orang-orang ramai menghitung mundur dari angka sepuluh, dan petasan-petasan meledak tepat setelah hitungan angka satu. Sorak-sorai menggema. Kemudian orang ramai-ramai jalan kaki dari bundaran HI menuju MONAS. Satu perayaan yang menandai bahwa dimalam itu ada yang berubah dari waktu ke waktu yang lain; zaman.

Apa sebenarnya yang dirayakan?. Tidak ada. Karena waktu toh setiap desis nafas yang berhembus selalu berubah.

Sejak hitungan BC (Before Christ)=Sebelum Masehi dan AD (Anno Domini)= Setelah Masehi, dinyatakan, waktu menjadi sempit. Seperti ada mula dan akhir. Seperti gerak linier yang membentang yang ber-start dan ber-finish. Kita manusia yang takluk pada batas begitu memahami waktu. Batas itu lahir karena kita rapuh oleh usia. Sujud oleh mati. Pada saat seperti itu mati menjadi akhir yang mengesahkan bahwa waktu berkepala dan berekor dan kita akan tamat.

“Disetiap Desember adalah menunggu”,
kata Goenawan Mohamad. Menunggu malam yang akan pergi, kalender yang akan diganti, dan harapan yang masih ngambang. Apa yang akan terjadi esok?, bagaimana kita menjajaki?.

Disetiap Desember adalah was-was yang tak kunjung tenang. Sesuatu yang belum jelas ‘juntrungnya’ dan tak teraba menunggu di depan. Segalanya menunggu. Kehidupan, kematian, kesuksesan, keterpurukan, kesenangan, musibah, atau pernik-pernik hidup yang lain. Segalanya bisa kapan saja sewaktu-waktu menyapa kita. Tidak dimulai hari esok di tahun baru, karena sejak ‘perocot’ dan kita menangis untuk pertama kalinya, semua sudah berjalan.

Disetiap Desember adalah was-was. Dan semakin mencekam cemas itu di Indonesia sekarang. Musibah terus menggelinding. Kematian datang dan pergi. Bengawan meluap. Politik memanas. Hidup semakin keras. Manusia semakin ganas, karena hidup sering membelot dari yang dicitakan. Dan was-was semakin mencekam. Dan diakhir Desember seperti bukan akhir, karena awal adalah kelanjutan. Dengan kata lain bahwa yang akan datang tidak memberi harap meski baru. Meski begitu. Manusia dimana saja tetap ramai diakhir Desember itu. Tetap berdoa dengan rasa cemas yang menusuk pada esok.

Tahun baru di Mesir, tidak seperti di Indonesia. Tidak ada yang istimewa dalam artian ritual yang menyedot masa dan hadirin. Tidak ada petasan yang meledak-ledak di angkasa tepat setelah jarum melewati angka 12. Tidak ada pentas di taman-taman nasional. Mungkin hanya di hotel-hotel dan club-club malam tahun baru terasa. Meski begitu di sepanjang Nil orang-orang ramai, juga aku dan sahabatku Norman ikut melawan dingin. Hanya sekedar berderet lalu lalang di sepanjang trotoar sungai Nil itu. Dan dimalam yang menusuk itu, semua orang seperti mengubur ‘yang lalu’ dengan cara ramai-ramai.

Apa yang terkubur?. Yang sudah, yang hancur, dan yang hilang. Begitu banyak. Bahkan tak ganjil jika diri kita sendiri telah terdaftar pada pemakaman. Diakhir Desember kita membangun nisan yang segalanya ‘yang sudah’ kita timbun di sana.

“Desember adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap dan terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa jengkal terbentang kurun waktu dimana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung”, lanjut Goenawan Mohamad.

Dan yang baru bisa membunuh juga bisa melahirkan. Tapi kita harus tetap percaya dan berani, sebab esok tidak memberi janji.

SELAMAT TAHUN BARU 2008

Kairo Lorong Sepuluh, 02/01/2008

Selengkapnya......