Sabtu, Desember 22, 2007

Hujan

Dari cendela kamar aku menghadap keluar. Pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Hujan itu tidak lama kejadiannya; hanya beberapa menit dan tidak deras. Tapi bagiku di Negeri ini; Mesir, hujan seperti itu adalah kerinduan yang selalu aku tunggu. Kerinduan suara gerimis. Kerinduan bau tanah yang terguyur. Kerinduan dedaun pohon yang kinclong tersiram hujan, yang kesemuanya mengingatkan saya pada Indonesia di sana.

Hujan yang hanya sekian kali terjadi di Mesir itu jadi hal yang menyenangkan bagiku, karena itu saya lekas membuka cendela ketika kawan serumahku dengan nada keras bilang “hujan...diluar hujan”. Hujan adalah kerinduan. Paling tidak bagi saya yang dari asia. Mungkin juga bagi orang lokal sini; hujan adalah berkah setelah kering kerontang meretakkan padang pasir.


Tapi hujan di Indonesia adalah melankolik. Lebih-lebih pada dasawarsa terakhir ini. Dari internet saya menyaksikan media-media ribut mengabarkan banjir, longsor atau tanggul-tanggul yang jebol karena tak kuat menahan tampungan air. Tidak di Kota juga tidak di Desa, tidak di gang-gang juga tidak di jalan besar, tapi keseluruhannya. Hujan menjadi malapetaka. Hujan menjadi sebuah kecemasan di Indonesia. Di saat langit bergerak dan mulai gelap perlahan-lahan, orang-orang resah dan sedih karena sebentar lagi adegan air meluap akan terjadi. Tragedi banjir hujan dan air mata akan dimulai.

Masih segar dalam ingatan saya. Dulu. Di tahun 2002 disaat saya masih ngekost di sudut kawasan IAIN, yang sekarang menjadi UIN, persisnya di daerah bernama gang Bungur. Di saat mendung merangkak dan mulai menebal, disaat itu juga saya dan kawan-kawan harus siap-siap mengangkat apa saja yang masih di bawah. Juga harus siap-siap ngungsi ke kost kawan atau kemana saja asal tidak di kost. Karena disaat hujan turun dan kita masih di tempat kost sama halnya kita menjebakkan diri kita sendiri. Tempat yang biasa kita gunakan belajar, lesehan atau main gitar dengan kawan-kawan penuh air sampai sedengkul. Air menggenang, wc kost meluap, tai berkeliaran, banjirpun terjadi. Dan disaat itu dengan murung kita berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana.

Tapi pada saat liburan kampus dan saya pulang kampung. Saya menyaksikan keriangan dan keceriaan pada wajah-wajah desaku yang mayoritas tani itu di saat hujan turun. “alhamdulillah, akhirnya hujan turun juga Mbok”, kata tetanggaku dengan paras penuh kebahagiaan berkata pada istrinya. Anak-anak kecil juga berlari-larian sambil telanjang menikmati guyuran air dari langit itu. Ada yang sekedar lari-lari. Ada yang main bola. Ada yang membuat selokan-selokan kecil untuk lalunya air yang mengalir.

Bagi saya ketika di kampung. Hujan menjadi kerinduan. Setelah hujan redah dengan sepeda atau motor, saya sering keluar rumah hanya sekedar menghirup bau tanah atau dedaunan yang tergerojok hujan. Saya senang menikmati bau-bau itu. Bau yang hanya ada disaat hujan tiba.

Ada sebuah paradoks disaat hujan turun. Orang-orang kota bisa berkesimpulan bahwa hujan adalah bencana. Tapi mungkin tidak bagi orang-orang desa. Apa yang menyebabkan munculnya kesimpulan itu?. Hujan atau banjir?.

Hujan sejak zaman adam sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Orang pasti meng-iya-kan itu. Rintik-rintik, gerimis atau deras. Begitulah hujan terjadi.

Dulu hujan bukanlah bencana seperti yang sering kita saksikan sekarang. Orang-orang akan selalu berdoa agar dimusimnya nanti hujan tidak telat datangnya. Hujan adalah penantian yang selalu diharapkan. Dengan itu kita bisa berkata bahwa hujan bukanlah sebab bencana itu.

Dan sudah pasti banjir, tentunya. Tapi apa yang menyebabkan banjir?. Kita telah tau sebabnya. Penebangan pohon yang berlebihan, perluasan daerah modern, penataan kota yang sembarangan tanpa kanal, luasnya tanah yang terbungkam sehingga tidak mampu menyerap air, atau ulah tangan manusia yang lainnya.

Sebuah keingginan. Tapi bagi saya bukanlah keingginan tapi ketamakan dan kerakusan tanpa otak. Orang ingin meraup uang sebanyak mungkin dari hasil penebangan pohon. Pemerintah ingin perluasan kota agar negara terlihat megah dan mentereng dengan mall-mall, perumahan atau pebrik-pabrik. Daerah-daerah ingin semua jalan teraspal agar disaat jalan bisa tergelincir dengan mulus dan nyaman. Sesuatu telah berubah, memang. Tapi hujan tetaplah hujan yang begitu sejak dulu sampai sekarang.

Apa mau dikata. Ketika ketamakan tidak dengan cepat kita sadari. Alam yang kita taklukkan. Alam yang kita tata seenak udel, berubah menjadi malapetaka. Dan berkahpun menjelma menjadi bencana. Dan gemuruh manusia mengalahkan alam kini seperti tak berdaya dengan alam yang sudah terlanjur porak-poranda. Kitapun binggung dan salah kaprah. Dan kita telat untuk menyelamatkannya. Kekuatan perlahan-lahan remuk oleh banjir, tanah longsor, tanggul bobol atau yang lainnya. Terlambat sudah kita menyadarinya.

Dari cendela kamar aku menghadap keluar, pada rintik hujan yang jatuh dari langit. Guyur yang melahirkan bau tanah yang sedap, menggoyangkan pohon yang selalu aku rindukan. Tapi saya menjadi cemas dan melankolis.

Saya sekarang di negeri orang, di negeri yang hujan adalah berkah dan hanya beberapa kali terjadi dalam satu tahun. Yang itu artinya suatu saat nanti saya pasti pulang dan kembali ke negeri, yang hujan bisa menjelma berkah seperti di desa-desa juga bisa bencana seperti di ibu kota yang sering saya saksikan lewat dunia maya.

Berkah menjadi bencana. Air berkah menjelmalah air mata. Dan kita manusia sudah terlambat menyadari bahwa kitalah penyebabnya.

Kairo Lorong Sepuluh, 22/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 08, 2007

Negeri Tanpa Air Mata

pada sosok imam
aku kerap berharap
sebuah negeri tanpa air mata
tapi
duka menderu, deru mendebu
luluh lanta
luka menganga, jerit mencercit
antah berantah
dan air mata tak
menemukan ujung selalu

negeriku keseluruhanya adalah tangis

pada siapa lagi aku berharap?,
mungkin pada sudut malam
aku menunggu mimpi yang masih
menyisahkan harap

dan harapan adalah
ombak yang mendebur atau
angin mendesir
yang selalu tak berujung
meski begitu
aku masih berharap
negeri tanpa air mata
sampai kapan, entah?

Kairo Lorong Sepuluh, 8/12/2007




Selengkapnya......

Senin, November 12, 2007

Lulus = Kembali...

Well. Finally. Hal yang aku tunggu-tunggu selama ini turun juga; penggumuman kelulusan. Dua bulan lebih aku menunggu. Dan seperti yang kalian tau bahwa menunggu adalah hal yang menjemukan dan menyiksa bukan?.

Malam itu tanggal 3/11 kawan serumahku: Norman, akan datang dari Indonesia. Dan saya sudah merencanakan menjemput di Bandara jam 23.00. Rangkulan akrab tanda lama tak bertemu terluap, setelah kawanku itu liburan ke indonesia empat bulan yang lalu. Sesampai di rumah beberapa kawan sudah menunggu. Ada yang menunggu titipan, oleh-oleh rokok Indonesia atau jajan, atau sekedar cerita terbaru tentang pertiwi; negeri yang sudah lama kita tinggal jauh di sana.


Malam berjalan pagipun mulai datang. Meski angin menghembus dingin lewat celah cendela, kawan-kawan tidak begitu terganggu. Obrolan malam itu masih tetap asyik dan seperti tidak ada yang mau mengganggu, meski kantuk sekalipun. Di tengah-tengah lingkaran ada rokok Sampoerna Mild. Ada camilan Indonesia. Ada kopi juga teh sariwangi. Benar-benar suasana seperti di Indonesia meski sebanrnya tidak. Ada hal-hal lucu dalam obrolan malam itu, yang itu menyebabkan semua kawan-kawan melepas tawa begitu saja. Juga hal-hal sedih dan mengerikan tentang sebuah negeri; negeri kita sendiri: Indonesia.

“Indonesia sekarang mengerikan”. Kata kawanku yang baru datang itu, “hidup semakin keras. Nyari kerja susah meski lulusan luar negeri. Nyari duit apalagi, susahnya mintak ampun, anak-anak muda juga semuanya pada rusak sosialnya”.

Kamarku seperti puncak terbalut kabut. Bukan kabut tapi asap rokok yang mengepul terbelenggu dikamar. Terkunci tak bisa kesana-kemari. Asap rokok hanya berputar-putar mengitari kamar dan itu samasekali tidak menganggu perbincangan malam waktu itu. Bahkan semakin mengepul asap itu semakin asyik obrolan itu.

Dari cerita kawanku yang baru datang itu aku teringat desaku yang dulu. Desa yang terletak di pinggiran laut Jawa Timur itu. Desa yang meski kecil tapi bagiku menyenangkan. Desa yang kata kawan-kawanku pelosok tapi bagiku seperti surga. Setiap liburan kuliah di Jakarta dulu. Aku seing nongkrong dengan kawan-kawan lamaku; kawan ketika masih SD dulu. Tanpa alas apapun di atas pasir putih kering kita bercerita. Cerita tentang kehidupan kita masing-masing. Aku sering ceritakan pada kawan-kawan lamaku itu tentang kehidupan jakarta yang keras dan kejam. Pun kawanku cerita tentang anak siapa sekarang yang menjadi incaran mata jejaka di desaku. Dari informasi kawanku itulah aku menyambung sejarah desaku yang sempat terputus ketika saya kuliah di Jakarta. Dan ketika saya di sini; di negeri para Nabi. Aku benar-benar kosong tentang perkembangan kampungku itu.

Gemericik ombak memainkan pantai. Angin berirama dengan berhembus. Gebyukan ombak dan desir angin saling menyatu seperti nyanyian tanpa nada tapi berirama. Rokok terkapar disebelah bungkusan kopi yang kita beli dari warung seberang jalan raya; dipojokan desa. Di pinggir pantai putih itu biasa saya menghabiskan waktu malam bersama kawan-kawan lamaku. Kita bertukar. Kita saling cerita tentang apa saja disuasana malam tanpa kengerian. Malam yang benar-benar hening dan tenang. Malam desaku yang kecil dan damai.

Saya sering merindui suasana dulu itu. Bahkan ketika malam di sini, melalui cendela saya menatap bintang-gemintang dan bulan, yang dulu sering saya lakukan dengan kawan-kawanku itu di atas pasir putih. Dengan posisi tubuh terlentang kelangit seperti menantang dewa. Kita membujur mengarah pada langit, kadang sesekali kita duduk menatap lurus memperhatikan temaram lampu nelayan dipermainkan ombak. Sambil merokok. Sambil bercerita. Sambil menikmati desah ombak. Sambil merasai desiran angin pantai. Benar-benar aku rindui suasana dulu itu. Suasana desaku.

Dari cerita kawanku yang baru pulang liburan itu. Saya teringat beberapa hari yang lalu. Disaat saya telephone keluargaku. Kata ibuku, desa yang dulu kamu tinggal sekarang berubah. Benar-benar berubah. Anak-anak muda menjadi kota. Suasana desa juga berubah kota. Lahan alas sebelah pantai dulu yang kamu sering main bersama kawan-kawanmu itu, sekarang dibangun pelabuhan. Pantai sebelah desa yang dulu sering dipakai kemah anak-anak sekolah dulu, sekarang sudah menjadi tempat wisata dengan nama Wisma Bahari Lamongan. Semuanya berubah Nak. Berubah. Berubah suasana juga berubah kehidupannya. Kamu kalau pulang harus benar-benar bisa menjadi dirimu. Menjadi anakku yang dulu; anak yang berprinsip meski saat hidup dalam antah- berantah.

Saya jadi benar-benar rindu suasana pantai disaat malam seperti dulu. Malam yang diam tapi bicara. Malam yang hening tapi bermakna. Tapi dari cerita ibuku itu. Sepertinya itu hanya sebuah kenangan yang tak berulang. Pantai yang dulu aku dan kawan-kawanku buat nongkrong itu mungkin sekarang sudah musnah terganti darmaga. Kawan-kawanku yang dulu sering ngobrol tentang kehidupan itu mungkin sekarang juga sudah mulai berubah. Tapi hidup adalah waktu dan ruang yang tak mungkin berulang bukan?.

Penggumuman kelulusan itu sudah turun. Dan alhamdulilah saya lulus. Dan itu artinya saya harus pulang tahun ini. Saya sudah bosan hidup di Mesir ini. Hidup yang seperti merabakan tangan dalam kabut. Aku ingin hidup yang sebenar-benarnya hidup. Meski pikiran dan segalanya aku pertaruhkan. Tapi lagi-lagi aku teringat cerita kawanku yang baru datang liburan itu. Lagi-lagi aku teringat kata ibuku lewat telephone itu. Dan dalam diri saya seperti ada ketakutan yang mendalam. Ada kegelisahan yang memuncak. Apa yang harus aku lakukan disaat aku pulang nanti?.

“jadilah kau orang yang berprinsip nak”, kata ibuku pada suatu hari sebelum saya pergi ke Mesir. Dan...”ya Bu anakmu sampai sekarang mencoba untuk itu. Dan meski ada ketakutan. Meski ada kegelisahan. Aku tetap akan pulang Bu. Karena disanalah duniaku. Aku akan tetap pulang Bu. Meski Indonesia adalah resah. Meski Indonesia adalah ketakutan. Meski Indonesia adalah kegelisahan. Meski Indonesia adalah kematian. Karena disanalah tumpah darahku Bu. Di sanalah aku harus mempersembahkan hidupku”.

Kairo Lorong Sepuluh, 11/11/2007

Selengkapnya......

Sabtu, November 10, 2007

Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sesat?. Penistaan?

Belum juga kering dibenak kita. Penggeroyokan kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat. Belum hilang itu dari benak. Dan sekarang muncul lagi masalah yang sama persis. Kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan segala pernik-pernik ajarannya menggelambung. Spontan Indonesia geger. Media-media komat-kamit memberitakan perihal itu. Orang-orang pintar kalang kabut.

Departemen agama yang punya peran penting dalam masalah ini. Gerah dan sontak membentuk panitia kecil untuk meneliti lebih jauh ajaran kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah, setelah MUI (Majlis Ulama Indonesia) menyatakan sesat aliran itu. Perihal itu simpel saja sebenarnya. Hanya persoalan nyeleneh dan tidak. Persoalan masih tetap dalam koridor atau sudah nyelempang dari rel. Alias sesat.

Pada siapa sebenarnya hak untuk sesat dan menyesatkan?. Benar dan menyalahkan?. Semua orang punya hak untuk itu. Tapi apakah kita bisa seenaknya menggunakan hak itu?. Bukankah setiap manusia berhak untuk memilih jalannya masing-masing?. Banyak jalan menuju Tuhan, kata pepatahnya.


Kebebasan beragama. “Orang bebas dalam berkeyakinan”. Al-qur’an menegaskan itu. Manusia bebas beragama atau tidak ber-Tuhan sekalipun. Manusia secara pribadi bebas memilih jalan menuju Tuhan. Jalan yang berliuk-liuk dan sesat sekalipun. Permasalahan yang muncul sekarang adalah. Bagaimana kalau lingkup privasi itu dilebarkan ke khalayak?. Bagaimana kalau takwil dan tafsir pribadi atas agama itu ditebar dan dijadikan tandingan atas ajaran yang sudah kokoh berdiri?. Dan ujungnya terjadilah penodaan agama. Terjadilah pelecehan agama. Terjadilah bentrok kepercayaan. Disini persoalan tidak lagi menjadi simpel tapi pelik dan komplek. Masihkah kebebeasan beragama?.

Dalam agama ada sisi yang tidak bisa diganggu gugat. Al-ma’lum min al-din bi al-dharurah, kata orang-orang arab. Dan Tuhan –sebagai yang Maha-. Dan nabi Muhammad –sebagai nabi penutup-. Dan al-qur’an – sebagai pedoman agama Islam-, bukankah sisi yang tidak bisa diotak-atik dalam sekup keberadaan dan kebenarannya dalam Islam?.

Saya tertawa sendiri ketika menyaksikan wawacara pemimpin kelompok Al-qiyadah dengan Metro tv itu. “muhammad adalah uswatun hasanah” kata Ahmad Moshaddeq ketika diwawancarai. Tapi pada saat yang sama dia berkata: “saya belum melakukan sholat lima waktu, jangan bilang tidak”. Dia menjadikan Nabi Muhammad panutan, tapi juga memposisikan diri sebagai penentang Nabi. Bukankah sholat adalah ajaran Nabi Muhammad?. Dan bukankah menjadikan Nabi Muhammad panutan artinya kita harus melakukan ajaran-ajarannya yang berlandaskan wahyu?.

Agama itu seperti menu sate. Disaat manusia menjatuhkan pilihan “saya makan menu sate”. Maka seketika itu juga dia tidak bisa menolak yang namanya daging, tusuk dan bumbu. Dan daging, tusuk dan bumbu itulah yang dalam agama dinamakan Al-ma’lum min al-din bi al-dhorurah. Sesuatu yang maklum. Sesuatu yang jelas dan pasti.

“saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad. Muhammad tigabelas tahun menjadi Nabi tapi belum melakukan sholat lima waktu. Nabi melakukan sholat ketika malam, pada saat di Makkah. Dan sayapun begitu”. Lebih jauh lagi sangkal pemimpin aliran Al-qiyadah yang juga dipanggil Haji Salam itu, ketika ditohok kenapa belum melakukan sholat lima waktu. Entah apa yang dilakukan Nabi seandainya Beliau bangkit lagi. Membenarkan atau meluruskan?. Saya tidak tau. Dan yang saya tau Nabi Muhammad belum melakukan sholat lima waktu pada saat di Makkah karena belum adanya perintah dari Tuhan. Belum terjadi peristiwa Isra’ dan mi’raj.

Ada masa-masa yang telah dilewati Nabi. Masa ketika di Makkah. Disaat orang-orang masih dalam kejahiliyaan. Ada masa-masa kejayaan setelah Beliau melakukan hijrah. Dan itulah puncak kesempurnaan agama Islam sebagai agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Dan pada saat Haji Salam (panggilan lain Ahmad Moshaddeq), mengatakan bahwa “saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad” apakah itu tidak berarti menjadikan masa sekarang adalah masa jahihiliyah?. Dan semua manusia tau bahwa masa itu sudah berlalu.

Dalam beragama tak ubahnya seperti main catur. Kita bebas menjalankan bidik yang ada. Kuda bebas berjalan asal bergerak membentuk leter “L”. Cumcum kemanapun bisa bergerak selama jalan lempeng yang dia tempuh. Ada aturan. Dan kita bebas dalam menjalankannya selama tidak keluar dari aturan main. Lebih-lebih keluar dari lapangan catur.

Sesatkah?. Salahkah?. Bukan disitu permasalahannya. Tapi bagaimana kita menghadapi fenomena semacam itu. Ada kedewasaan. Karena dalam dialognya Ahmad Moshaddeq masih membuka pintu bahwa “Saya sanggup berdialog dengan siapapun”. Ada kesempatan untuk adu argumen. Dan ada kesempatan untuk saling mengingatkan dan meluruskan jika memang benar-benar salah dalam mentakwil dan mentafsir mengenai agama.

Pembunuhan pemikiran supaya tidak beredar di masyarakat adalah perbuatan sia-sia. Kita tidak setuju dengan pemikiran seseorang atau kelompok, serang ide dan pemikirannya. Bukan kelompok, apalagi sosok seperti yang sering dilakukan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Mereka mengkeroyok. Menyerbu dan menghakimi sendiri. Bukankah agama mengajarkan kita beradaptasi secara manusiawi?. Itu hanya perbuatan sia-sia karena sosok boleh mati. Kelompok boleh hilang. Tapi ide dan pikiran selamanya akan terus hidup selama belum terbunuh. Ini yang perlu kita kedepankan. Bukan penggeroyokan dan pengadilan masa.

Syeikh Siti Jenar yang dihukum mati oleh sunan kudus bukanlah karena pemikirannya. Melainkan resah yang kalau sampai menjalar ke masyarakat. Jenar dipancung. Kepalanya putus. Dan selanjutnya mengelinding tiga kali mengitari jasadnya. Kepalanya bertaut kembali dengan tubuhnya dan tidak ada bekas luka. Tampak bahwa hukuman pancung sunan kudus hanyalah kesewenangan yang sia-sia. Ada yang tidak mati. Kepala lambang pemikiran tak bisa ditundukkan dengan pedang sekalipun. Dan itu artinya pemikiran akan sia-sia jika dilawan dengan kekerasan.

Sesatkah?, salahkan Ahmad Moshaddeq?. Hanya Tuhan yang tau. Karena “kita baru tau Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama’ kuno dan Islam menurut yang lain-lainnya”. Kata Ahmad Wahib dalam pergolakannya. Tapi penistaan agama. Penodaan agama itulah yang harus kita perhatikan. Karena kita semua berteduh dalam sekup yang kita beri nama Indonesia. Maka jangan sampai kita berpecah meski kita tidak sama.

Allahu a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 10/11/2007
Ket. poto dijepret di padang pasir gunung sinai Mesir

Selengkapnya......

Minggu, November 04, 2007

Sedikit Komentar Buat Tulisan Mas Aab

Barusan saya mengunjungi Blogspot sahabat saya di Indonesia di alamat: http://abdul-hakim.blogspot.com/. Tulisan itu bertema "Konfrontasi, Sejarah yang berulang?". Melihat tanggalnya tulisan itu sudah lama diposting. Juga sudah lama sebenarnya perihal itu; perang yang tak kunjung meledak. Begitu saya membahasakan Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dari tulisan sahabat saya itu.

Meski sudah lama masalah itu. Entah. Setelah saya membaca tulisan sahabat saya itu terus terang saya marah dan sempat panas. Darah saya seperti membuncah ingin muncrat. Mungkin terlalu rapi dan detail sahabat saya itu menulis geger antara dua negara yang bersebelahan itu; Indonesia Malaysia. Sejak geger tahun 1960-an sampai sekarang ditulis rinci dan penuh profokasi saya kira.

Awalnya saya berniat untuk mengkomentari langsung di Blogspot sahabat saya itu. Tapi karena settingnya yang entah saya susah sekali masuk. Akhirnya saya tulis komentar itu disini. Komentar itu begini.....


...Dan sayapun berkesimpulan bahwa hargadiri kita sebagai bangsa diinjak dan dipermainkan. Dan sayapun bertanya. Kemana harga diri kita?. Semua diam. Bahkan diam yang paling garang sekalipun.

"hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri". Kata Nietzsche pada suatu hari. Rentetan yang dibeberkan lewat tulisan oleh sahabat saya itu, apa kalau tidak menuju pada apa yang dikatakan Nietzsche itu?. Benar katamu Nietzsche. Ya benar. Bahwa tujuan hidup "bukanlah kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melainkan perang". Dan itu sepertinya yang dilakukan monster yang berkedok saudara itu.

Dan kitapun masih mencoba untuk berkelakuan manusia. Sabar dan mangut-mangut. Kita berteduh pada sifat kemanusiaan. Tapi kita tidak sadar pada saat itu juga hargadiri kita dirampok hewan yang bersemayam persis disebelah tembok rumah kita.

"khaos tidak selamanya harus dihindari, karena kadang dialah yang melahirkan matahari". Gunawan Mohammad bilang. Benturan kadang dibutuhkan karena dari itu kita bisa membuktikan bahwa kita bangsa yang bermartabat dan tidak bisa dipermainkan. Tapi itukah yang akan kita tempuh?. Ini bukan zaman jahiliyah. Juga kita bukan dewa.

Bangsa yang disegani dan dihormati. Mungkin itu hanya angan. karena sampai sekarang itu masih "tanda tanya" yang jawabnya "entah". Selamanya Indonesia tidak akan bisa berjalan apalagi lari, selama kaki kita terbelenggu oleh kepicikan dan ketololan anak negeri sendiri.

Akupun masih berharap kapan?. Mungkin nanti disaat ruang dan hari selesai yang itu artinya kiamat. Dan lagi-lagi aku bertanya. Kapan?. Dan lagi-lagi semua diam. Tapi kali ini ada yang senyum meski senyum yang paling hambar sekalipun. I LOVE U INDONESIA

Kairo Lorong Sepuluh, 5/11/2007
Ket. Gambar diambil dari Goggle Searching

Selengkapnya......

Sabtu, November 03, 2007

Kairo itu Dunia Mimpi

“Kairo itu dunia mimpi”, kata kawanku dari seberang nun jauh di sana, Indonesia. Mungkin ada benarnya kalimat itu. Tapi mungkin juga salah. Bukankah disaat kita lelap dalam mimpi kitah toh akan bangun nantinya?. Setiap manusia ada tahap masing-masing. Ada masa disaat kita harus bermimpi, itulah masa disaat kita belajar bagaimana membangun cita-cita untuk menapaki jalan panjang. Juga ada masanya kita harus bangun, dan itulah hidup nyata setelah kita lama menata dan mencoba untuk membangun tembok kehidupan dari bata-bata yang kita kumpulkan dimasa kita belajar.

Tapi saya kadang merasa untuk meng-iya-kan apa kata sahabat saya lewat telephone itu. Lebih-lebih disaat saya seperti ini. Saya hari-hari ini merasa hidup saya hampa. Hampa dalam artian merasa tidak ada yang berarti samasekali.


Jam tujuh kadang sembilan pagi baru mulai tidur. Bangun kadang jam dua atau jam tiga sore. Semalam penuh tidak tidur baru jam tujuh atau sembilan pagi mulai tidur. Begitu keseharian saya. Karena saya merasa hidup yang “tidak berarti” tadi. Kadang saya mencoba untuk memeranginya dengan baca, jalan menyusuri lorong-lorong kairo atau apa saja yang bisa mengusir perasaan “tidak berarti itu”. Tapi masih saja hidup ini seperti kosong dan menjemukan. Mungkin ada benarnya kawanku itu, bahwa hidup di Mesir ini mimpi. Belum nyata. Hidup yang masih berkutat dalam benak. Hidup yang bukan sebenarnya hidup.

Menunggu. itu mungkin faktor yang menyebabkan saya merasa dalam keseharian ini kosong. Jemu dan membosankan. Entah kapan penggumuman kelulusan itu di tempel?. Saya tidak sabar ingin bangun dari hidup yang menjemukan ini; hidup yang nyata. Di sana di negeri saya tercinta.

Benar-benar menjemukan hari-hari dalam penantian ini. Yang seharusnya deg-degkan menunggu lulus atau tidak jadi luntur, karena terlalu lama masanya. Bahkan kadang merasa lena dan nyaman. Empires

Gama Empires akhirnya manjadi pelampiasan. Semalam saya main Game ini. Sudah lama sebenarnya saya tidak main game itu. Game kesukaan saya. Lima jam saya main game itu. Dari jam satu malam sampai jam enam pagi. Random Map setting yang aku pilih. Level dark Age, Feudal Age, Castle Age lalu level terakhir Imperial Age. Dan saya menang.

Puas karena menang. Sayapun merokok sambil merenung. Dan...“hidup ini seperi Game Empires”. Tiba-tiba benakku berkesimpulan seperti itu. Ada prinsip yang harus kita pegang, bahwa kita harus menang dalam permainan dengan segala strategi kita. Pun dalam hidup harus ada titik klimaks yang kita tempuh, agar hidup ini nyaman dan tidak diberontak oleh apa saja. Itulah yang dinamakan prinsip.

Dalam game Empires kita harus melewati lavel-lavel tertentu, untuk menjadi sempurna dan kuat dari serangan apapun. Ada lavel Dark Age dimana kita harus mengumpulkan dan menampung. Sampai nanti lavel Imperial Age yang disaat itu kita benar-benar bisa segalanya dan mampu untuk menyerang dan menindas lawan. Pun dalam hidup ada masa-masa tertentu. Ada masa kita harus belajar, atau dengan bahasa yang agak sedikit keren; mahasiswa. Sampai nanti kita benar-benar siap untuk menyerang dan menapaki hidup yang penuh dengan terjal.

Buku harian saya buka dan...”hidup dengan prinsip dan peganggan akan merasa nyaman meski kadang menjemukan dan banyak rintangan, sebaliknya hidup tanpa itu adalah keledai yang hanya membebek kemana majikan mengarahkan”. Itu yang saya catat dalam buku harian saya.

Dan saya sekarang merasa nyaman setelah berkesimpulan seperti itu. Prinsip yang dulu sempat pudar akhirnya terajut kembali dan seperti berkuncup lagi.

Mungkin “hidup di Kairo itu mimpi” itu ada benarnya kawan. Tapi sekarang saya berani berkata lantang bahwa hidup itu bukan mimpi, tapi hidup adalah kenyataan sejak kita dilahirkan sampai kita mangkat nanti. Hidup adalah kenyataan selama hidup kita berprinsip dan bertujuan kawan. Dan itu yang saya coba jalani sekarang kawan.

Kairo Lorong Sepuluh, 3/11/2007

Selengkapnya......

Selasa, Oktober 30, 2007

Kekuasaan adalah Tuhan

kekuasaan adalah tuhan. Mungkin kata itu terlalu berlebihan tapi begitulah kira-kira menurut saya. Tuhan mampu untuk mencipta dan meniadakan. Sang penguasa juga mampu untuk berbuat semenanya. Berbuat seperti yang dikehendaki pikiran dan nafsunya. Benarkah demikian?. Saya tidak berani menjawab “ya” atau “tidak”. Karena Indonesia lengkap semuanya.

barangkali itulah sebabnya orang-orang di atas sono berbondong-bondong menyusun strategi, mengumpulkan kekuatan untuk menjadi Tuhan. Semua orang yang berpengaruh dalam kanca nasional didekati. Di bisiki dengan katabelece-katabelece yang syarat dengan senyum. Cara yang halus tapi memperkosa. Strategi yang sopan tapi menekan.


Kekuasaan adalah segalanya. Sampai yang masih aktif menjabatpun ikut tergiur. Ikut-ikutan berkatabelece kesana-kemari. Bahkan tanpa tedeng dan aling-aling, orang yang sudah jelas-jelas terbukti tidak becus dan sangat menggelikan dalam memimpin juga tidak malu-malunya untuk mencalonkan diri lagi. Artinya kekuasaan politik memang harus, meski antah-berantah yang lebih parah endingnya. Semua orang jadi ambisi untuk menjadi Tuhan. Serakah untuk menjadi pemimpin dan berkuasa. Dan kekuasaan akhirnya tujuan akhir dan titik. Setelah menggapai sudah itu berhenti.

Ambisius memang baik. Columbus menemukan Amerika dengan ambisi dan keserakahan. Giambattista Vico dari abad ke-18 pernah mengatakan: dari ambisi manusia dan keserakahanlah telah lahir banyak hal yang baik di dunia, keserakahan jugalah yang mendorong manusia menciptakan teknologi-teknologi yang memukau. Ambisi dan keserakahan di sini tidak hanya berhenti pada mencita-citakan dan mencapai. Pada mencaplok dan menelan. Pada penggapaian dan menduduki. Tapi dengan segala resikonya mereka mampu mengatakan pada dunia bahwa keserakahan dan ambisius yang mereka tempuh benar-benar terbukti. Sayang tidak ambisius dan serakah yang seperti ini yang terjadi di negara kita.

Indonesia yang dalam guncangan saat ini butuh pemimpin. Butuh sosok Gajah Mada yang tidak rakus jabatan tapi mumpuni, “kenapa paman Arya Tadah tidak bicara kepada saya dulu?,”. sangkal Gajah Mada ketika Mahapati Arya Tadah bermaksud menjagokan Gajah Mada sebagai gantinya menjadi orang nomer dua setelah Raja. Gajah Madah mampu menjalankan jabatan Mahapati itu tapi menolak. Toh akhirnya Prabu Putri Dyah Wiyat berkata : “Demi membagnun Majapahit yang besar. Majapahit yang jaya dan gemilang, diperlukan tangan yang kukuh, kuat dan kekar. Majapahit menunjuk Gajah Mada”. ”. Tulis Langit Kresna Hariadi dalam Novelnya Gajah Mada Hamukti Palapa.

Kekuasaan politik, disamping kompetensi juga kerapian dalam mendesain program ke depan dan segala bentuk aplikasinya. Pemimpin sejati adalah bukti bukan janji dan orasi di sana-sini. Tapi bagaimana kita bisa percaya kalau yang berlangsung sekarang adalah, sebuah lomba penampilan pribadi?. Bagaimana kita bisa percaya kalau demokrasi sekarang tidak jauh dari katabelece-katabelece menggiurkan dan tekanan-tekanan?. Dan akhirnya demokrasipun menjadi momok . Rakyat digiring untuk dijadikan gembalaan. Mulutnya disumpal meski tidak dengan rumput. Demokrasipun cacat oleh mereka yang menggemborkan demokrasi. Dan rakyat sudah terlambat sadar bahwa pemimpin adalah malapetaka bagi publik.

Pada fenomena yang seperti itu saya teringat sosok Socrates yang tidak menyukai demokrasi. Pada saat Athena kuno. Rakyat terbiasa dengan hak suara dan bicara, Socretes menantang. Dia punya ide sendiri tentang penguasa yang ideal. Pemimpin menurut dia, bukan dipilih oleh orang banyak tapi dipilih oleh “mereka yang tau”. Mungkin pemilihan pemimpin seperti ini lebih baik daripada pemilihan yang melibatkan rakyat yang tak ubahnya seperti robot yang dikontrol untuk mengatakan “iya” atau “tidak”. Dan Socratespun biinggung ketika ditanya siapa “mereka yang tau” itu?...dan demokrasi menjadi jawaban meski perjalananya penuh rintang dan halangan. Dan demokrasipun kadang menjadi momok pada fenomena Indonesia sekarang bukan?. Tapi kita perlu.

Kairo Lorong Sepuluh, 30/Oktober/2007

Selengkapnya......

Sabtu, Oktober 27, 2007

'Menunggu'

Ada yang ingin saya sampaikan di sini, hal itu mengenai kelulusan kuliah saya. Tapi saya menjadi ragu ketika dengar desas-desus dari kawan. Cerita-cerita dari sahabat. Bahwa hasil kontrol langsung ke gedung Rektorat tidak meyakinkan. Pegawai rektorat bilang kalau “anda lulus”. Tapi kadang hasil itu bisa belok seratus persen dengan apa yang ditempel di papan penggumuman nanti; “anda tidak lulus”. Juga sebaliknya. Dari situ saya gamang untuk mau mengontrol kelulusan saya ke gedung rektorat.

Dari sejak saya kuliah di sini. Baru sekali saya kontrol langsung ke gedung Rektorat, karena keluarga saya sudah tidak sabar untuk menyuruh saya cepat-cepat pulang kalau lulus. Tapi kontrol kelulusan ketika itu tidak menghasilkan seperti apa yang diingini keluarga saya dan saya sendiri khususnya. Saya tidak lulus. Dan itu artinya saya tidak bisa pulang waktu itu dan harus setahun lagi di sini. Itu terjadi satu tahun yang lalu.


Hari ini tidak seperti biasanya. Saya bangun pagi meski matahari sudah terasa panas dan jam ada pada angka sepuluh. Tapi bagiku itu tergolong pagi karena hidup saya biasanya tak ubahnya kampret atau kalong atau kelelawar yang merasa tidak nyaman dengan matahari. Saya tidak takut matahari tapi saya merasa nyaman saja ketika malam karena kesunyian adalah kedamaian bagiku.

Tiba-tiba dalam benak saya terbesit dan tergugah untuk berangkat ke gedung Rektorat. Entah padahal beberapa hari ini saya sama sekali tidak kepikiran masalah kelulusan itu. Saya pasrah apapun hasilnya. Dan saya merasa nyaman untuk tidak memikirkan kelulusan itu. Tapi entah hari ini tiba-tiba saya terusik untuk cepat-cepat mandi dan pergi ke gedung Rektorat. Sayapun pergi mengikuti kata hati.

Pegawai Rektorat seumuran bapakku terlihat sibuk, mencatat, mencoret, membolak-balik kertas, dan sesekali memasukkan lintingan rumput kering; Cleopatra ke mulutnya. Dan,

“mohon maaf pak ganggu, bisa gak pak saya ingin kontrol kelulusan saya?, Please la pak”.
“kamu jurusan apa?”.
“Akidah Filsafat pak”, balasku.

Dia tinggalkan kertas yang tadi dibikin sibuk. Berdiri membuka lemari dan buku tebal dibuka. Dan

“nomer kamu berapa dan nama kamu siapa?”.
“Abdul Karim bin Musdal pak 1342”.

Buku tebal itu dibuka dan nama Abdul Karim bin Musdal tertulis di sana. Saya sudah melihatnya dan saya juga sudah tau apa hasilnya.

Tapi entah saya ragu untuk mengatakan itu. Saya juga ragu untuk membenarkan apa yang tadi saya lihat. Jadi gamang juga saya untuk mengabari keluarga saya di Indonesia yang sudah tidak sabar menyuruh saya untuk cepat pulang. Karena lagi-lagi saya teringat kasus kawanku itu. Lagi-lagi teringat desas-desus itu. Tidak lulus ketika kontrol di Rektorat belum tentu tidak lulus di papan penggumuman. Pun sebaliknya di gedung Rektorat mungkin dibilang lulus bisa jadi di papan penggumuman tidak lulus.

Entah apa masalahnya. Mungkin terlalu banyak mahasiswa. Mungkin juga karena proses belum selesai tuntas sehingga masih ada nilai mata kuliah yang belum masuk ke gedung Rektorat ketika kita kontrol. Atau mungkin pegawai di Rektorat itu salah melihat atau seenaknya sendiri menjawab karena banyak pekerjaan yang lebih penting. Semuanya mungkin. Tapi saya melihat dengan mata kepala sendiri.

Dan meski demikian saya harus tetap tidak menyampaikan kepada siapapun sampai penggumuman benar-benar ditempel, yang entah saya lulus atau tidak. Tapi yang jelas aku sudah sangat rindu sekali kepada Indonesia.

Kairo lorong sepuluh, 27/10/2007




Selengkapnya......

Minggu, September 30, 2007

Dengan Pisah Kita Mengerti Jumpa

Suasana bandara internasional itu seperti sunyi. Diam yang penuh makna. Meski ribuan orang lalu lalang kesana-kemari. Meski suara gaduh terdengar disana sini.

Dalam raut wajahnya ada kebahagiaan sekaligus kesedihan yang dalam. Bahagia karena beberapa jam lagi kaki dia sudah menginjak bumi sendiri, setelah lima tahunan dia terpental di bumi Pyramida ini. Dan sedih karena dalam kebahagian itu ada satu tragedi penikaman. Bukan manusia, tapi tetautan emosional yang sangat erat; persahabatan.

Sejak 2002 kita sudah saling tertaut dalam satu nama; Nel-Daroyn. Tepatnya sebelum kita berangkat ke Kairo, ketika kita masih sama-sama digembleng di salah satu tempat di sudut Jakarta; Ceger. Dan sampai sekarang persahabatan itu masih seperti ranting dan daun. Saling menyatu. Atau seperti buah dan biji. Yang benar-benar satu.

Dalam waktu yang buram dan terang kita sering bersama. Dalam ruang yang sempit dan longgar kita sering bercengkrama. Juga pada setiap musim sering kita sama-sama melempar hayal kita lepas begitu saja. Dan akhirnya “kapan kita pulang ya?” keluar begitu saja. Dan kita sama-sama tertawa hambar karena rindu akan pulang itu terbiarkan begitu saja kering. Tidak setiap rindu kita harus meluapkannya, tapi kadang rindu itu terpaksa harus kita bunuh untuk hal-hal tertentu.

Persahabatan amat perlu bagi siapapun dan kapan saja. Kata Aristoteles. Disaat kita susah, disaat kita senang kadang sahabatlah orang yang paling paham akan diri kita. Meski kita punya saudara sedarah sering kita merasa pada sahabatla kita merasa teduh dari terik kehidupan yang kita hadapi.

Dalam pamitnya ada senyum yang mengambang dan penuh teka-teki. Antara senang dan bahagia. Antara pisah dan terus bersama. Tidak ada air mata pada matanya yang berkaca. Tapi aku berani memastikan meski mata tidak leleh hatinya luluh dan runtuh ketika lambaian terakhir dia angkat. Lambaian tragedi untuk sebuah persahabatan.

Dia harus pulang dan aku harus masih di sini memunggut sisa waktu yang masih tanda tanya. Dia harus pergi dan aku harus masih di sini menanti papan penggumuman itu nempel untuk yang kesekian kali. Dia harus hilang dari mesir. Dan itu artinya kita harus berpisah untuk sementara dan mungkin selamanya.

Pisah kadang perlu. Dan persahabatan akan tampak lebih erat oleh pisah.


Ariel, Riani, Zafran, Ian dan Genta sudah tujuh tahun menjalin persahabatan. Tapi pada suatu waktu mereka seperti ada kejenuhan. Seperti ada yang hilang diantara mereka. Tulis Donny Dhirgantoro dalam novelnya yang berjudul 5 cm. Mereka berlima akhirnya memutuskan untuk berpisah selama tiga bulan. Mereka sepakat. Dan pada 14 agustus semuanya kumpul kembali di puncak gunung pulau jawa; mahameru. Mereka merayakan reuni. Dan menemukan kembali arti sebuah persahabatan. Persahabatan mereka seperti awal sebelum datang kejenuhan. Dan dari perpisahan mereka justru menemukan arti pertemuan. Persahabatan yang menggetarkan.

Warso Winata namanya. Dia dari Cirebon. Sahabatku itu akan pulang hari ini. Balik kenegeri. Meski persahabatan kita seperti daun dan ranting atau buah dan isi, tapi kita sama-sama sadar, suatu waktu daun itu akan runtuh, isi itu akan pisah oleh musim. Dan kita sama-sama sadar mugkin disebalik musim itu akan bersemi kuncup-kuncup persahabatan yang indah.


Suasana bandara itu seperti sunyi. Dan dalam raut wajahnya ada kebahagiaan sekaligus kesedihan. Dia melambaikan tangan dan akupun melambai. Dalam diam aku berucap SELAMAT JALAN KAWAN.

Kairo Lorong Sepuluh, 01/10/2007

Selengkapnya......

Minggu, September 23, 2007

Catatan Dari Sebuah Pertemuan

Aku akui. Setelah aku melihat papan penggumuman itu hidupku jadi tak karuan. Hidup ini seperti tidak ada harapan, kabur. Kemana-mana murka. Kemana-mana seperti ada bisikan “kau kalah”. Dan ini kali pertama.

Saya jadi teringat kata-kata Gunawan Mohammad, “kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk”. Situasi telah menjepitnya untuk tunduk tapi akal melarang untuk takluk.

Dasar permasalahannya berbeda memang. Gunawan dipaksa takluk oleh berbagai tekanan atas kemerdekaan jurnalistik waktu itu. Tapi aku tidak ada tekanan darimanapun. Aku hanya dipaksa mau tidak mau harus menerima sebuah kenyataan, mau tidak mau harus takluk oleh papan penggumuman itu. Itu artinya aku tidak lagi dijepit tapi ditindih dan diperkosa untuk ‘mau’. Dan memang harus begitu adanya. Dan aku akui akalku tidak menerima itu. Aku sudah sangat rindu sekali pada Negeriku. Akalku berontak tapi keadaan telah memenjarakanku.


Aku mencoba aplikasikan kata ‘boleh tunduk’ tapi ‘tak boleh takluk’ itu. Karena masih ada satu kesempatan untuk berontak lewat taswiyah (menggulang satu mata kuliah sebagai penentu lulus atau tidak). Aku berusaha habis-habisan, tapi aku sadar betul bahwa aku manusia hanya bisa berusaha dan berdoa selainnya Tuhanlah yang bicara. “man purposses God is posses” begitu kata pepatahnya. Tapi tetap saja aku masih berontak. Tetap saja aku murka pada diri sendiri.

Sampai sekarang papan penggumuman yang kedua itu belum juga turun. Dan lagi-lagi hidup ini keburu lunglai. Seperti tidak ada harapan, apalagi ketika aku teringat betul bagaimana ujianku ketika taswiyah kemarin. Lagi-lagi aku kabur, lagi-lagi ada bisikan ‘kau akan kalah’. Tapi akal sehatku tetap berontak, hati nurani selalu berkoar untuk tidak mau takluk. Dan ini kali yang kedua.

Dan semenjak itu, hidup ini seperti apa adanya. Aku jalani dengan sangat tawar sekali. Dengan sangat hambar.

Seperti itulah aku sekarang. Sampai datang undangan dari komunitas para penyair di Kairo. Aku datang. Dan sepertinya sudah biasanya acara itu hanya lempar-lempar ide dan pikiran. Obrol sana-sini tentang seseorang yang kebetulan waktu itu adalah Gunawan Muhammad yang dibincangkan. Terus terang saya banyak belajar dari orang satu ini lewat tulisan-tulisannya. Pun saat sekarang aku belajar dari kata-katanya.

Dan sepertinya juga sudah biasa, setelah obrolan itu ditutup acara di sambung dengan deklamasi puisi. Ruangan itu seperti pecah seketika. Ambyar tertendang suara-suara pecinta kata. Satu persatu berkoar, berontak seperti mau bilang “inilah kata meski diam tapi punya kekuatan”.
Ruangan itu kadang hening sejenak, dan bising lagi oleh suara dan tidak lama hening lagi dan mengoar lagi. Begitulah keadaannya.

Tiba-tiba suara datar menguap dari “Kwatrin tentang sebuah poci” Gunawan Mohammad.

....................
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
Dan kita membikinnya abadi
....................

Sama sekali tidak ada yang berharga dari tubuh utuh kita ini. Tubuh yang mulanya hanya dari tanah liat yang kelak kan retak. Apa yang membuatnya abadi hanya sebuah ilusi; sebuah salah pandang yang kita ciptakan sendiri. Dan itu hanya ilusi tidak lebih. Itu hanya permainan angin tidak berwujud.

Dan entah tiba-tiba aku merasa hidupku ini seperti tergugah kembali setelah mendengar itu. Seperti merasa betul bahwa aku ini manusia yang tidak lain hanyalah tanah liat.

Seketika jiwa ini seperti terbetot dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba pada balik kertas aku mencoret,

Terima Kasihku
Pada berisik suara kalian itu
Aku tangkap kembali jiwaku
Yang lama direbut waktu

Pada buncah semangat kalian itu
Aku temukan aku yang hidup
Meski nanti retak dan kan pecah

Eh...tiba-tiba ada anak bayi datang masuk rumah
.


Kairo lorong sepuluh, 23/09/2007

Selengkapnya......

Jumat, September 21, 2007

Yang Terkenang Dan Yang Terbuang

Apakah hanya yang terkenang saja yang patut untuk kita ingat, sedang selainnya harus kita buang jauh-jauh, dan sebisa mungkin kita anggap bahwa itu seakan-akan tidak pernah terjadi pada diri kita?.

Pertanyaan yang mendasar itu muncul setelah kemarin diajak kawan saya yang sebentar lagi mau pulang ke indonesaia foto-foto. Ambil gambar dibeberapa tempat yang menurut dia layak dan patut untuk diingat atau kata dia “tempat-tempat yang ngangeni”. Gang dan lorong-lorong yang sering kita lewati kita jepret. Tempat jualan juz buah, Cafe yang biasa kita nongkrong mendiskusikan hal apapun kita jempret dari segala posisi. Dan tentu tak ketinggalan pinggiran Nil yang bersejrah dan ramai itu.


Saya nyeletuk pada kawan saya itu “tempat ketika kamu di putus pacar kamu pren, perlu kayaknya kita jepret juga?”. “ah, itu tidak perlu dikenang, hal-hal yang kelam harus kita buang jauh-jauh”, jawabnya singkat. Sepertinya terbesit dalam benak kawan saya itu bahwa semua hal yang ‘ngangeni’ saja yang patut untuk diingat, hal yang enak-enak saja yang layak untuk kita catat sebagai sejarah selainnya tidak. Apakah harus seperti itu?.

Saya pikir tidak. Tidak hanya hal-hal yang ngangeni saja yang harus diingat. Tapi hal yang kita pernah terjerumus, kita pernah terluka, kita pernah tersandung, baik waktu dan ruangnya itu juga saya pikir wajib untuk diingat dan dikenang, layak untuk kita catat atau kita dokumenkan sebagai satu sejarah kelam sekalipun. Memang kelam tapi patut dicatat saya kira.

Saya teringat pernah suatu hari saya membaca buku orang-orang sukses sedunia. Dalam buku itu dipaparkan sejarah kelam orang-orang sukses itu, tapi karena mereka menganggap bahwa ketidakberhasilan atau sejarah pahit itu adalah hutang yang wajib dilunasi, akhirnya mereka camkan dalam benak masing-masing, mereka ingat dan mereka telaah sedemikian rupa. Kenapa bisa seperti itu?. Mereka berjuang mati-matian untuk melunasi hutangya. Dan pada ujungnya mereka semua sukses dan berhasil menguncang Dunia berkat meninggat hal-hal yang kelam pada diri mereka. Berkat menganggap bahwa itu hutang, dan wajib dilunasi. Mereka menggunakannya sebagai senjata, menggunakannya sebagai tangga untuk meniti pada yang dicita.

Hal-hal yang pahit dan getir akan menjadi batu penghalang buat kelangsungan hidup setelahnya, kita akan jatuh sakit atau seperti teracuni, alias tidak ada semangat hidup kalau kita tidak membuangnya. Mungkin seperti itu yang ada dalam benak kawanku itu. Tapi bukankah dari yang pahit itu kita belajar?, bukankah dari yang kelam itu kita berguru?, bukankah dari yang tersesatkan itu kita mengingat dan selanjutnya kita tau bahwa semua itu tidak perlu terjadi lagi pada diri kita masing-masing.

Dari yang ‘tidak enak’ maupun yang ‘enak’ dikenang itulah kita menyempurnakan diri kita sebagai manusia yang utuh. Dan sejarah baik ria maupun duka dalam diri kita adalah guru yang paling bijak bukan?.

Kairo lorong sepuluh, 21/09/2007


Selengkapnya......

Senin, September 17, 2007

Tumbal Kekuasaan*

Tubuh itu terlalu tua untuk diseret kesana kemari diluar kehendaknya. Tidak ada perlawanan sedikitpun ketika pesuruh-pesuruh itu membawanya. Dia pasrah, tapi pada pasrahnya seperti ada pemberontakan yang diam, seperti ada jerit kebenaran yang menggeram hendak menantang, hendak mengucap “apa salah saya?”,tapi pak tua itu lebih memilih diam katimbang menantang.

Pak tua itu memang aneh menurut ukuran khalayak, dan sebab keanehannya itulah dia harus diganjar dengan hukuman mati. Dia sering mengomel di tengah pasar melantunkan kata-kata yang menurut umum hanya orang gila yang berkata seperti itu.

“Wahai orang-orang ! selamatkan aku dari Tuhan yang telah merampasku dari diriku sendiri…..”. Sepontan semua orang dipasar menoleh padanya dan serentak berkata GILA!

Ada yang tidak bisa dimengerti dari pak tua itu, sesuatu yang terpendam dalam jiwanya, ada arena pertarungan batin yang hebat dalam jiwanya, yang tidak bisa dipahami begitu saja. “wahai engkau yang lebih dekat dari kulitku sendiri”. Omel dia pada suatu hari. Ada satu kesatuan yang menyatu dalam dirinya yaitu Tuhan. tapi bisakah Tuhan yang “Maha segalanya” itu dijabarkan dalam satu kata yang jelas terbatas oleh ruang dan waktu itu?.

Saya jadi teringat penyair Sutardji Calzoum Bachri yang juga pernah mencoba untuk menjabarkan tuhan lewat kata-kata: “ aku telah nangkap manusia dengan tangan”, tulisnya “dengan meriam dengan ide dengan fikiran”, Namun “cuman jejakMu saja yang aku dapatkan pada mereka”. Ada satu batas yang tidak bisa ditembus. Hanya jejak yang bisa ditemu oleh Sutardji. Dan jejek tidaklah sebenarnya bukan?. Ada sesuatu yang tidak bisa dijabarkan.

Tuhan tidak akan bisa kita pahami seperti kita memahami ilmu matematika. Berproses dari satu titik awal dan sampai tiba disuatu titik akhir. Chairil Anwar juga menulis sajak yang terang-terangan tentang Tuhan tetapi ia tahu betapa

.....susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh


“ana al-haqq” (akulah yang maha benar). dalam salah satu syairnya pak tua itu menulis. Lagi-lagi dia bikin gaduh. Melahirkan sesuatu yang bombastis. Sesuatu yang membikin para tokoh pada waktu itu kelabakan dan gerah.
Ada yang tidak bisa dibedakan oleh pak tua itu, dua hal yang benar-benar jauh satu sama lain yaitu Tuhan yang “Maha lain” dan dirinya sendiri sebagai manusia yang “juga lain”.

Pak tua itu dituduh melecehkan agama. Dituduh kafir lantaran kelakuannya yang aneh itu. Darahnya halal dan wajib diberangus dari muka bumi. Terlalu mudahnya manusia mengecap mati. Cap yang hanya “Maha lain” yang semestinya punya hak untuk itu telah diperkosa. Telah di rebut dari tangan Tuhan. Dimana kesadaran sebagai manusianya?.

Di mahkamah yang dipimpin Abi Umar, pak tua itu hanya diam ketika dibacakan tuduhannya. “Kau telah mengaku sebagai Tuhan, kau telah mengatakan bahwa kaulah yang telah menghidupkan yang mati, dan kau bilang bahwa segala perbuatan yang anda kerjakan atas petunjuk wahyu”. Kata hakim dipersidangan membacakan tuduhan itu.

Beberapa kalangan menganggap pak tua itu sebagai wali, ada juga yang memandang sebagai bentuk kesadaran paham esoterik, bahkan ada yang meyakininya sebgai Nabi. layak saja mempunyai banyak pengikut dimana-mana.

Selama bertahun-tahun pak tua itu mengembara di pelosok Persia, India, dan Turkestan, bahkan sampai ke wilayah perbatasan negeri Cina. Selain melakukan kunjungan dakwah ke para pengikutnya, juga karena dia sering jadi buronan dimana-mana. Di makkah misalnya, dia pernah dicari-cari Umar Al-makkiy karena menentang al-quran. Akhirnya dia keluar dari mekkah. Apa artinya hidup menetap kalau hidup pribadi kita dirampas?. Mungkin begitu pikir pak tua itu.

Ada banyak kekuatan politik yang mendominasi lekuk-lekuk kehidupan pada waktu itu. Dan wajar bukan setiap kekuatan berpikiran setiap yang bahaya setiap itu juga harus diberanggus?. Proteksi dimana-mana, orang terbungkam, selain mulut juga pikiran sering di belenggu untuk tidak neko-neko. Manut pada siapa yang paling kuat. Pada siapa yang paling berkuasa waktu itu. Kekuasaan benar-benar segalanya. Dan imbasnya pak tua jadi perhatian para pemuka agama waktu itu, dia diinteli dimana-mana.

Pak tua itu di tuduh terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa, atau setidaknya berperan aktif membakar emosi rakyat. Dari bukti-bukti yang di temukan di rumah-rumah para pengikutnya, yaitu sejumlah besar dokumen dan naskah-naskah kritis, akhirnya penguasa abbasiyah mengintruksikan militernya untuk menangkap Pak tua itu. Di rumahnya dia di ciduk di bawa ke mahkamah dan sederet tuduhan dibacakan padanya.

Pak tua itu menggeram, melantang dengan suaranya yang penuh dengan pemberontakan “ aku berlindung kepada Allah, demi tuhan aku tidak berkata kalau aku adalah tuhan, kalau aku adalah nabi. Aku adalah manusia biasa yang menyembah tuhan dan mengikuti nabi, aku adalah lelaki biasa yang masih mengerjakan sholat dan puasa”.

Apalah daya pembelaan ketika kekuasaan manjadi segalanya. Ketika kekuasaan hampir mirip seperti Tuhan. Punya hak untuk menentukan mana yang layak untuk hidup dan tidak.

Beberapa saksi laki-laki dan perempuan didatangkan. Tidak ada satupun saksi yang membela pak tua itu. Justru sebaliknya semua berkata jauh dari fakta, jauh dari kenyataan yang betul-betul telah terjadi pada pak tua itu untuk yang sebenarnya. Pak tua itu hanya tersenyum mungkin sambil berpikir “jangan anggap kau bisa merampas otakku meski mulut dan tubuhku kau bungkan dan kau pendam”.

“ketika saya tidur dia mendatangiku dan menyetubuhiku”, kata seorang saksi perempuan yang cantik dan seksi itu dimahkamah.

**********

Abu ja’far bin bahlul –salah satu hakim di mahkamah- mengintruksikan bawahanya untuk menggeledah rumah Pak tua itu. Beberapa dokumen lagi di temukan, sebagian dokumen itu ditulis memakai sandi yang hanya dia dan para pengikutnya yang tau apa arti sandi itu.

Tapi ada satu buku yang aneh yang didapat dari rumah pak tua itu. Isinya sukup mengejutkan para hadirin. Buku itu menjabarkan tata cara haji. Tata cara itu tidak seperti yang banyak tertanam dalam benak umum. Karena haji cukup menganggap kamar Pak tua itu sebgai ka’bah, towaf cukup berkeliling kamarnya, setelah itu mengumpulkan tiga puluh anak yatim, memeberi makan dan sandang pada mereka lalu membagi-bagikan uang setiap anak yatim sebanyak tujuh dirham. sempurnalah sudah haji seperti itu.

Semakin dekat kematian pada pak tua itu.

Selembar kertas digilir dari satu hakim ke hakim yang lain untuk ditandatangani sebagai hasil final bahwa Pak tua itu layak untuk mati. Melihat itu pak tua terlihat tenang tanpa gusar sedikitpun meski kematian sudah dekat seperti kedekatan Tuhan pada dirinya. Pak tua itu berkata: “pungunggku terlindungi dan darahku haram, apa yang kalian tuduhkan semua bertentangan dengan madzhab dan sunnahku, saya punya kitab yang menunjukkan sunnahku yang sebanarnya, sungguh Tuhan di dalam darahku”. Semakin kuat kedekatan Tuhan pada dirinya. Dan semakin dekat pula kematian menghampirinya.

Para hakim tidak menghiraukan ucapannya, sepertinya sudah sangat bulat sekali kalau darah Pak tua itu memang benar-benar halal dan sudah tidak layak untuk hidup. Ah..seperti mereka saja yang memberi hidup?.

Orang-orang ramai, riuh berdesak-desakan, kontras sekali dengan waktu yang masih pagi itu. Pagi yang seharusnya hanya embun dan kabut padang pasir yang punya hak untuk mengusik, hanya suara alam dengan hembusan anginnya yang masih dingin yang seharusnya bersuara. Tapi tidak pada pagi itu, orang-orang juga ramai ikut mengusik pagi. Menyaksikan pak tua itu untuk mati. Sebentar lagi.

Dan semakin dekat kematian pada pak tua itu. Seperti dekatnya Tuhan pada dirinya yang tidak bisa dijabarkannya.

Pada wajah Pak tua itu tidak sedikitpun terlihat rasa takut, gemetar ataupun gusar. Tubuhnya terlihat tidak setua umurnya. Sebelum dieksekusi dia mintak sajadah dan izin barang sebentar untuk melakukan sholat. Lagi-lagi ada kekontrasan. Pak tua yang diangap syirik dan kafir itu masih sholat. Dan itu artinya masih mengakui bahwa dia manusia yang punya kewajiban menyerahkan sepenuh dirinya pada Tuhan. berarti dia sadar bahwa dirinya manusia dan Tuhan yang disembahnya.

Setelah melakukan sholat dia senyum, senyum dengan seindah-indahnya senyum, seperti habis bertemu kekasih dan saling mengikat janji. Senyumnya seperti pertanda, seperti satu isyarat bahwa sebentar lagi dia akan menemui kekasihnya, menemui orang yang selama ini sering merampas tubuhnya.

Di depan kerumunan tubuh dia diperlakukan seperti hewan korban. Diseret tanpa kemauan dia sendiri. Dan dia mati tepatnya pada tahun 309 H didepan mata para hadirin yang telanjang. Mati dia seperti maklumat untuk para pengunjung bahwa siapa saja yang melakukan hal yang neko-neko dengan kekuasaan akibatnya akan seperti Pak tua ini. Mati dengan cara yang tidak sewajarnya.

**********

Pada perjalanan selanjutnya ada satu buku yang menggemparkan. Namanya “Al-thawasin”. Buku yang dibilang aneh namanya oleh orang-orang pintar itu mengabarkan banyak hal atas apa yang terjadi sebenarnya pada pak tua itu.

Pak tua itu ternyata tidak salah. Tidak benar apa yang telah di tuduhkan padanya. Dan semua saksi yang di hadirkan, dan semua tuduhan yang diajukan pada waktu mahkamahnya itu hanyalah sebuah lakon yang sudah disutradarai. Para saksi juga dibayar dan diintruksikan untuk menguatkan bahwa Pak tua itu benar-benar harus salah sehingga halal untuk dibunuh. Mana yang salah mana yang benar tidak lagi jelas ketika dihadapkan pada kekuasaan.

Penangkapan Pak tua itu bukan sebab pikiran dan pendapat-pendapatnya, kata buku itu, melainkan karena dia dianggap salah satu pentolan kelompok Qaramitiyah (salah satu kelompok syiah yang di tuduh sesat). Kelompok ini salah satu oposisi yang punya niat menggulingkan kekuasaan Abbasiyah, pantas dia diberantas tandas sampai akar-akarnya dengan cara apapun, bahkan dengan membalikkan yang halal menjadi haram sekalipun. Halal haram tidaklah penting ketika kekuasaan memperkosanya. Mungkin saja halal dan haram yang kita kenal selama ini dalam teks-teks buku sama halnya sejarahnya seperti sejarah Pak tua itu?.

Kekuasaan menjadi segalanya. Berpikir. kegiatan yang sah untuk dimiliki setiap manusia itu akhirnya menjadi satu tendensi untuk menuju satu pencapaian.

Kematian seseorang bukan lagi hak Tuhan sekarang. Manusiapun bisa merebut itu dari Tuhan dengan kekuasaan. Pak tua itu satu buktinya. Memang benar-benar keji kekuasaan itu. “politik memang benar-benar kotor seperti Lumpur”. Kata Gie dalam film yang dibintangi Nicholas Saputra.

Pak tua itu bernama Al-hallaj. Nama leangkapnya Husain bin Mansyur al-Hallaj. Sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda. Misterius dan penuh teka-teki dalam segala pola hidupnya. Alhallaj menjadi terkesan dan hidup kerena ia melambangkan perlawanan terhadap sebuah kekuasaan; kekuasaan yang semena-mena.

Tubuhnya mati. Tapi pikiran dan pendapatnya masih sering menguap dan bersuara keras bahkan lebih keras dan lebih dahsyat ketika dia masih hidup. Tampak bahwa hukuman mati Abbasyiah itu hanya sikap sewenang-wenang dan ngawor yang sia-sia. Pikiran tidaklah tubuh yang bisa ditebas dan di bunuh oleh algoco. Ada yang tidak bisa mati dan ditundukkan begitu saja oleh siapapun bahkan kekuasaan yang paling kuat sekalipun yaitu pikiran.

Mati. Mungkin lebih baik buat al-Hallaj. Karena tidak lagi dia harus mengomel dan mencaci dirinya sendiri yang sering direbut Tuhan. Dia tidak lagi dipandang gila oleh oang-orang pasar. Dia tidak lagi dianggap musyrik para tokoh-tokoh yang berkuasa itu, yang tidak mengerti pertarungan dalam jiwanya. Dia tidak harus binggung-binggung mencoba untuk mengambarkan Tuhan dengan keterbatasannya. Karena pada mati itu dia akan menuju.

Allau a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 17/09/2007
*Sebuah catatan tengah malam

Selengkapnya......

Jumat, September 14, 2007

Kau*

Buat Karim.
"masa lalu bukanlah lawan
ia seperti cinta lama, penuh
anggun, berarti

ikutkan jepit lusuh itu
sebagai kenangan dalam puisimu
kesederhanaan lebih akrab
kepada kesederdanaan"


Pamitmu pada buku kenangan yanga kau berikan padaku sesaat sebelum kau beranjak.


Pada akhirnya kau putuskan juga pilihanmu itu, pilihan yang selama ini kita bincangkan dan kau biarkan menguap begitu saja, sebab kau terlalu berat untuk meinggalkan kota ini sepertinya; kota yang terlalu lama menidurkanmu; kota yang mungkin menurutmu banyak impian, tapi apa artinya impian itu?, kalau selamanya hanya mimpi tak kunjung jadi nyata. Hidup ini fakta bukan?. tidak usah terlalu muluk hidup itu, apa yang ada itulah yang harus kita lalui bukan apa adanya kita menjalaninya.

Sudah terlalu lama kau tertidur di negeri ini, terlelap sampai kau lupa hanya untuk sekedar menguap mengelurkan bau busuk dari mulutmu itu, apalagi sekedar untuk bangun dan sadar bahwa kau ternyata selama ini dalam mimpi.

"kubawa dari rumah ini adalah memori, kubawa dari negeri ini adalah puisi" katamu pada suatu hari.

Hanya itukah yang bisa kau bawa dari negeri ini?, itu hanya daun yang setiap saat akan runtuh bukan pohon yang tegar dan utuh, itu hanya bau busuk mulutmu bukan mulut kamu yang sebenarnya. Ada yang lebih penting dari itu yaitu "kamu" untuk yang sebenarnya.

Apakah kau akan menjadi bangga dengan tidak menjadi arti sama sekali?. Apakah kau ingin seperti sampah yang tidak berarti itu?, dari omonganmu yang tanpa "R: itu aku berani memastikan bahwa itu bukanlah kamu.

"aku tidak pernah mati sebagai binar nyala,
manusia yang menjunjung angan-angannya
aku tidak pernah main-main sebagai manusia
karena menjadi manusia adalah kehormatan"


kau sendiri kan yang menulis itu?

Menjadi manusia yang sadar susah memang, tapi itulah sepertinya yang sedang kau tempuh sekarang. Tidak ada salahnya kau mimpi dan beranggan-anggan tapi menjadi salah kalau tidak ada pemberontakan sebagai bukti bahwa inilah mimpi dan angan-anganmu selama ini.

KAU
meski setiap saat kau bangun gubuk
dalam dirimu
aku yakin tidak akan pernah rampung
kau dirikan itu
sebab kau selalu kalah oleh waktu

meski kau terus kelana sekalipun
aku berani memastikan tak akan bisa kau bangun cita-cita itu
sebab putaran waktu selalu saja kau timbun
menggilasmu dan kau lena oleh mimpi-mimpimu

segala waktu milikmu kubaca
dan kau adalah kalah
yang tidak mau kalah
sebenarnya

kau yang kan pulang, kau yang kan hilang
kau yang kan membayang, kau yang kan terkenang

selamat jalan
ya..selamat jalan kawan


Kairo, 14/09/2007

*Catatan buat mingan

Selengkapnya......

Rabu, September 05, 2007

Selamat Jalan Kenangan

Dia aku anggap sahabat sekaligus adik karena umurnya yang lebih muda dari aku. Banyak masalah yang dihadapinya tiga bulan terakhir ini, tapi yang telihat jelas dari bahasa mukanya hanya satu; bahwa dia kalah lagi ditahun ini. Dua tahun dulu dia sudah pernah kalah dalam judul yang sama yaitu kuliah. Meski begitu kekuatan untuk melawan waktu itu masih tidak tampak kusut seperti sekarang.


Beberapa minggu setelah penggumuman ujian turun ada perubahan yang mencolok dari wajah biasanya. Wajah yang biasanya ceria berubah kelam, seperti tidak akan ada lagi matahari yang datang bersinar. Wajah yang biasanya banyak tertawa berubah murka seperti tidak ada lagi harapan. Wajah yang biasanya renyah bicara berubah diam yang memendam berjuta kata. Ada perubahan pada dia.

Antara TERUS atau PULANG yang harus dia pilih, tidak ada alternatif ketiga untuk menjembatani dua pilihan yang bertolakbelakang itu. Dia sudah terlalu kalah dan murung, juga pesimis untuk bisa memilih jawaban yang tapat; jawaban untuk masa depan dia juga harapan Ibu Bapaknya. Pilihanpun diserahkan Ibu Bapaknya dan akhirnya "Ya sudah nak secepatnya kamu pulang, diteruskan saja kuliahnya di Indonesia". diapun mengiyakan pilihan orang tuanya itu, simbol anak yang penurut dan patuh, meski dalam jiwanya sebenarnya masih ada sisa kekuatan untuk masih bisa melawan. Meski dalam benaknya masih ada kesadaran untuk bisa memilih antara TERUS atau PULANG. Meski dalam kegamangannya masih ada keyakinan untuk masih bisa mengatakan bahwa dia bisa. Tapi dia kalah, ya kalah untuk yang kesekian kalinya.....

MESKI KAU KALAH*

MESKI kau kalah
kau adalah masa depan yang dari
setiap desir angin kau harus belajar
kenapa daun gugur disaat musim

MESKI kau kalah
engkaulah yang suatu waktu
harus melawan debur ombak
dan badai yang menampar mukamu

MESKI kau kalah
siapa yang bisa merebut jiwamu
bukankah kau sendiri yang tau
lalu pada siapa kau harus meronta

MESKI kau kalah
aku berani memastikan masih ada sisa untuk
melawan pada setiap desis nafasmu
bukankah malam selalu menyisahkan misteri

hidup ini terjal
terlalu remeh untuk kau menyesal
dan itu kekalahan bukan?

Kairo, 05/09/2007

*Sederet kata untuk kau Ana

Selengkapnya......

Selasa, September 04, 2007

Hidup

HIDUP ini resah maka
biarkan saja seperti adanya
bukankah mendung juga berarak
diterpa angin lalu
jadi hujan

HIDUP ini sejarah maka
jalani saja mingikuti waktu
yang lalu biarlah lalu meski
jiwa kita sering terpental

HIDUP ini lari mengejar
bayang kita sendiri
tak akan pernah selesai
sampai diri ini mati
lalu pada nisan kita terkenang

Kairo, 05/09/2007

Selengkapnya......

Ungkapan

INI keraguan atau ketidakpercayaan
atau sekedar tanya yang menggebuh
INI badan sudah terlalu lelah dan kecapean
mengejarMu menangkapMu susah sungguh

INI jiwa tak mau sudah henti
menanyakanMu mencariMu pada sepi
INI jiwa terus saja menari
mungkin sampai waktunya nanti; mati

Kairo, 05/09/2007

Selengkapnya......