Minggu, September 23, 2007

Catatan Dari Sebuah Pertemuan

Aku akui. Setelah aku melihat papan penggumuman itu hidupku jadi tak karuan. Hidup ini seperti tidak ada harapan, kabur. Kemana-mana murka. Kemana-mana seperti ada bisikan “kau kalah”. Dan ini kali pertama.

Saya jadi teringat kata-kata Gunawan Mohammad, “kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk”. Situasi telah menjepitnya untuk tunduk tapi akal melarang untuk takluk.

Dasar permasalahannya berbeda memang. Gunawan dipaksa takluk oleh berbagai tekanan atas kemerdekaan jurnalistik waktu itu. Tapi aku tidak ada tekanan darimanapun. Aku hanya dipaksa mau tidak mau harus menerima sebuah kenyataan, mau tidak mau harus takluk oleh papan penggumuman itu. Itu artinya aku tidak lagi dijepit tapi ditindih dan diperkosa untuk ‘mau’. Dan memang harus begitu adanya. Dan aku akui akalku tidak menerima itu. Aku sudah sangat rindu sekali pada Negeriku. Akalku berontak tapi keadaan telah memenjarakanku.


Aku mencoba aplikasikan kata ‘boleh tunduk’ tapi ‘tak boleh takluk’ itu. Karena masih ada satu kesempatan untuk berontak lewat taswiyah (menggulang satu mata kuliah sebagai penentu lulus atau tidak). Aku berusaha habis-habisan, tapi aku sadar betul bahwa aku manusia hanya bisa berusaha dan berdoa selainnya Tuhanlah yang bicara. “man purposses God is posses” begitu kata pepatahnya. Tapi tetap saja aku masih berontak. Tetap saja aku murka pada diri sendiri.

Sampai sekarang papan penggumuman yang kedua itu belum juga turun. Dan lagi-lagi hidup ini keburu lunglai. Seperti tidak ada harapan, apalagi ketika aku teringat betul bagaimana ujianku ketika taswiyah kemarin. Lagi-lagi aku kabur, lagi-lagi ada bisikan ‘kau akan kalah’. Tapi akal sehatku tetap berontak, hati nurani selalu berkoar untuk tidak mau takluk. Dan ini kali yang kedua.

Dan semenjak itu, hidup ini seperti apa adanya. Aku jalani dengan sangat tawar sekali. Dengan sangat hambar.

Seperti itulah aku sekarang. Sampai datang undangan dari komunitas para penyair di Kairo. Aku datang. Dan sepertinya sudah biasanya acara itu hanya lempar-lempar ide dan pikiran. Obrol sana-sini tentang seseorang yang kebetulan waktu itu adalah Gunawan Muhammad yang dibincangkan. Terus terang saya banyak belajar dari orang satu ini lewat tulisan-tulisannya. Pun saat sekarang aku belajar dari kata-katanya.

Dan sepertinya juga sudah biasa, setelah obrolan itu ditutup acara di sambung dengan deklamasi puisi. Ruangan itu seperti pecah seketika. Ambyar tertendang suara-suara pecinta kata. Satu persatu berkoar, berontak seperti mau bilang “inilah kata meski diam tapi punya kekuatan”.
Ruangan itu kadang hening sejenak, dan bising lagi oleh suara dan tidak lama hening lagi dan mengoar lagi. Begitulah keadaannya.

Tiba-tiba suara datar menguap dari “Kwatrin tentang sebuah poci” Gunawan Mohammad.

....................
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
Dan kita membikinnya abadi
....................

Sama sekali tidak ada yang berharga dari tubuh utuh kita ini. Tubuh yang mulanya hanya dari tanah liat yang kelak kan retak. Apa yang membuatnya abadi hanya sebuah ilusi; sebuah salah pandang yang kita ciptakan sendiri. Dan itu hanya ilusi tidak lebih. Itu hanya permainan angin tidak berwujud.

Dan entah tiba-tiba aku merasa hidupku ini seperti tergugah kembali setelah mendengar itu. Seperti merasa betul bahwa aku ini manusia yang tidak lain hanyalah tanah liat.

Seketika jiwa ini seperti terbetot dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba pada balik kertas aku mencoret,

Terima Kasihku
Pada berisik suara kalian itu
Aku tangkap kembali jiwaku
Yang lama direbut waktu

Pada buncah semangat kalian itu
Aku temukan aku yang hidup
Meski nanti retak dan kan pecah

Eh...tiba-tiba ada anak bayi datang masuk rumah
.


Kairo lorong sepuluh, 23/09/2007

Tidak ada komentar: