Sabtu, November 10, 2007

Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sesat?. Penistaan?

Belum juga kering dibenak kita. Penggeroyokan kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat. Belum hilang itu dari benak. Dan sekarang muncul lagi masalah yang sama persis. Kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan segala pernik-pernik ajarannya menggelambung. Spontan Indonesia geger. Media-media komat-kamit memberitakan perihal itu. Orang-orang pintar kalang kabut.

Departemen agama yang punya peran penting dalam masalah ini. Gerah dan sontak membentuk panitia kecil untuk meneliti lebih jauh ajaran kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah, setelah MUI (Majlis Ulama Indonesia) menyatakan sesat aliran itu. Perihal itu simpel saja sebenarnya. Hanya persoalan nyeleneh dan tidak. Persoalan masih tetap dalam koridor atau sudah nyelempang dari rel. Alias sesat.

Pada siapa sebenarnya hak untuk sesat dan menyesatkan?. Benar dan menyalahkan?. Semua orang punya hak untuk itu. Tapi apakah kita bisa seenaknya menggunakan hak itu?. Bukankah setiap manusia berhak untuk memilih jalannya masing-masing?. Banyak jalan menuju Tuhan, kata pepatahnya.


Kebebasan beragama. “Orang bebas dalam berkeyakinan”. Al-qur’an menegaskan itu. Manusia bebas beragama atau tidak ber-Tuhan sekalipun. Manusia secara pribadi bebas memilih jalan menuju Tuhan. Jalan yang berliuk-liuk dan sesat sekalipun. Permasalahan yang muncul sekarang adalah. Bagaimana kalau lingkup privasi itu dilebarkan ke khalayak?. Bagaimana kalau takwil dan tafsir pribadi atas agama itu ditebar dan dijadikan tandingan atas ajaran yang sudah kokoh berdiri?. Dan ujungnya terjadilah penodaan agama. Terjadilah pelecehan agama. Terjadilah bentrok kepercayaan. Disini persoalan tidak lagi menjadi simpel tapi pelik dan komplek. Masihkah kebebeasan beragama?.

Dalam agama ada sisi yang tidak bisa diganggu gugat. Al-ma’lum min al-din bi al-dharurah, kata orang-orang arab. Dan Tuhan –sebagai yang Maha-. Dan nabi Muhammad –sebagai nabi penutup-. Dan al-qur’an – sebagai pedoman agama Islam-, bukankah sisi yang tidak bisa diotak-atik dalam sekup keberadaan dan kebenarannya dalam Islam?.

Saya tertawa sendiri ketika menyaksikan wawacara pemimpin kelompok Al-qiyadah dengan Metro tv itu. “muhammad adalah uswatun hasanah” kata Ahmad Moshaddeq ketika diwawancarai. Tapi pada saat yang sama dia berkata: “saya belum melakukan sholat lima waktu, jangan bilang tidak”. Dia menjadikan Nabi Muhammad panutan, tapi juga memposisikan diri sebagai penentang Nabi. Bukankah sholat adalah ajaran Nabi Muhammad?. Dan bukankah menjadikan Nabi Muhammad panutan artinya kita harus melakukan ajaran-ajarannya yang berlandaskan wahyu?.

Agama itu seperti menu sate. Disaat manusia menjatuhkan pilihan “saya makan menu sate”. Maka seketika itu juga dia tidak bisa menolak yang namanya daging, tusuk dan bumbu. Dan daging, tusuk dan bumbu itulah yang dalam agama dinamakan Al-ma’lum min al-din bi al-dhorurah. Sesuatu yang maklum. Sesuatu yang jelas dan pasti.

“saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad. Muhammad tigabelas tahun menjadi Nabi tapi belum melakukan sholat lima waktu. Nabi melakukan sholat ketika malam, pada saat di Makkah. Dan sayapun begitu”. Lebih jauh lagi sangkal pemimpin aliran Al-qiyadah yang juga dipanggil Haji Salam itu, ketika ditohok kenapa belum melakukan sholat lima waktu. Entah apa yang dilakukan Nabi seandainya Beliau bangkit lagi. Membenarkan atau meluruskan?. Saya tidak tau. Dan yang saya tau Nabi Muhammad belum melakukan sholat lima waktu pada saat di Makkah karena belum adanya perintah dari Tuhan. Belum terjadi peristiwa Isra’ dan mi’raj.

Ada masa-masa yang telah dilewati Nabi. Masa ketika di Makkah. Disaat orang-orang masih dalam kejahiliyaan. Ada masa-masa kejayaan setelah Beliau melakukan hijrah. Dan itulah puncak kesempurnaan agama Islam sebagai agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Dan pada saat Haji Salam (panggilan lain Ahmad Moshaddeq), mengatakan bahwa “saya mengikuti priodesasi Nabi Muhammad” apakah itu tidak berarti menjadikan masa sekarang adalah masa jahihiliyah?. Dan semua manusia tau bahwa masa itu sudah berlalu.

Dalam beragama tak ubahnya seperti main catur. Kita bebas menjalankan bidik yang ada. Kuda bebas berjalan asal bergerak membentuk leter “L”. Cumcum kemanapun bisa bergerak selama jalan lempeng yang dia tempuh. Ada aturan. Dan kita bebas dalam menjalankannya selama tidak keluar dari aturan main. Lebih-lebih keluar dari lapangan catur.

Sesatkah?. Salahkah?. Bukan disitu permasalahannya. Tapi bagaimana kita menghadapi fenomena semacam itu. Ada kedewasaan. Karena dalam dialognya Ahmad Moshaddeq masih membuka pintu bahwa “Saya sanggup berdialog dengan siapapun”. Ada kesempatan untuk adu argumen. Dan ada kesempatan untuk saling mengingatkan dan meluruskan jika memang benar-benar salah dalam mentakwil dan mentafsir mengenai agama.

Pembunuhan pemikiran supaya tidak beredar di masyarakat adalah perbuatan sia-sia. Kita tidak setuju dengan pemikiran seseorang atau kelompok, serang ide dan pemikirannya. Bukan kelompok, apalagi sosok seperti yang sering dilakukan kelompok-kelompok lain di Indonesia. Mereka mengkeroyok. Menyerbu dan menghakimi sendiri. Bukankah agama mengajarkan kita beradaptasi secara manusiawi?. Itu hanya perbuatan sia-sia karena sosok boleh mati. Kelompok boleh hilang. Tapi ide dan pikiran selamanya akan terus hidup selama belum terbunuh. Ini yang perlu kita kedepankan. Bukan penggeroyokan dan pengadilan masa.

Syeikh Siti Jenar yang dihukum mati oleh sunan kudus bukanlah karena pemikirannya. Melainkan resah yang kalau sampai menjalar ke masyarakat. Jenar dipancung. Kepalanya putus. Dan selanjutnya mengelinding tiga kali mengitari jasadnya. Kepalanya bertaut kembali dengan tubuhnya dan tidak ada bekas luka. Tampak bahwa hukuman pancung sunan kudus hanyalah kesewenangan yang sia-sia. Ada yang tidak mati. Kepala lambang pemikiran tak bisa ditundukkan dengan pedang sekalipun. Dan itu artinya pemikiran akan sia-sia jika dilawan dengan kekerasan.

Sesatkah?, salahkan Ahmad Moshaddeq?. Hanya Tuhan yang tau. Karena “kita baru tau Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama’ kuno dan Islam menurut yang lain-lainnya”. Kata Ahmad Wahib dalam pergolakannya. Tapi penistaan agama. Penodaan agama itulah yang harus kita perhatikan. Karena kita semua berteduh dalam sekup yang kita beri nama Indonesia. Maka jangan sampai kita berpecah meski kita tidak sama.

Allahu a’lam bi al-sawab

Kairo Lorong Sepuluh, 10/11/2007
Ket. poto dijepret di padang pasir gunung sinai Mesir

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice post and photo Bang! ;)

Farlowe mengatakan...

kalo buat om Musaddiq nya terserah dia menta'wil ajaran ato mendistorsikan ajaran, itu hak dia dan dia yang menikmati,

tapi kefatalan menurut saya, kenapa mesti ada banyak pengikut? kenapa ada pengikut? kenapa mau ikut? sebab nya apa? (mungkin sebabnya Om Gajah mada blom pulang :P )

kalau mau bikin agama silahkan, tapi jangan ndompleng dan di miripkan Islam,...

wallahu a'lam:)