Rabu, Januari 02, 2008

Tahun Baru di Nil

Di bawah deretan lampu jalan yang panjang. Di jembatan atas sungai Nil itu, anak-anak muda ramai merayakan tahun baru. Ada yang sekedar nongkrong bersama kawan-kawannya. Ada yang bermesraan sambil berdiri menghadap pada keramaian di atas air Nil, yang perahu-perahu dengan music kencang dan lampu kerlap-kerlip lalu lalang membawa manusia berkeliling. Orang-orang yang melawan dingin itu sedang menandai, bahwa waktu beberapa menit kedepan akan beranjak dari 2007 ke 2008. Diakhir Desember, seperti sudah sepakat semua manusia, bahwa di Bulan itu ada semacam ritual yang harus dirayakan dan diperingati.


Di indonesia. Empat tahun yang lalu saya pernah ikut ramai-ramai merayakan itu. Setelah orang-orang ramai menghitung mundur dari angka sepuluh, dan petasan-petasan meledak tepat setelah hitungan angka satu. Sorak-sorai menggema. Kemudian orang ramai-ramai jalan kaki dari bundaran HI menuju MONAS. Satu perayaan yang menandai bahwa dimalam itu ada yang berubah dari waktu ke waktu yang lain; zaman.

Apa sebenarnya yang dirayakan?. Tidak ada. Karena waktu toh setiap desis nafas yang berhembus selalu berubah.

Sejak hitungan BC (Before Christ)=Sebelum Masehi dan AD (Anno Domini)= Setelah Masehi, dinyatakan, waktu menjadi sempit. Seperti ada mula dan akhir. Seperti gerak linier yang membentang yang ber-start dan ber-finish. Kita manusia yang takluk pada batas begitu memahami waktu. Batas itu lahir karena kita rapuh oleh usia. Sujud oleh mati. Pada saat seperti itu mati menjadi akhir yang mengesahkan bahwa waktu berkepala dan berekor dan kita akan tamat.

“Disetiap Desember adalah menunggu”,
kata Goenawan Mohamad. Menunggu malam yang akan pergi, kalender yang akan diganti, dan harapan yang masih ngambang. Apa yang akan terjadi esok?, bagaimana kita menjajaki?.

Disetiap Desember adalah was-was yang tak kunjung tenang. Sesuatu yang belum jelas ‘juntrungnya’ dan tak teraba menunggu di depan. Segalanya menunggu. Kehidupan, kematian, kesuksesan, keterpurukan, kesenangan, musibah, atau pernik-pernik hidup yang lain. Segalanya bisa kapan saja sewaktu-waktu menyapa kita. Tidak dimulai hari esok di tahun baru, karena sejak ‘perocot’ dan kita menangis untuk pertama kalinya, semua sudah berjalan.

Disetiap Desember adalah was-was. Dan semakin mencekam cemas itu di Indonesia sekarang. Musibah terus menggelinding. Kematian datang dan pergi. Bengawan meluap. Politik memanas. Hidup semakin keras. Manusia semakin ganas, karena hidup sering membelot dari yang dicitakan. Dan was-was semakin mencekam. Dan diakhir Desember seperti bukan akhir, karena awal adalah kelanjutan. Dengan kata lain bahwa yang akan datang tidak memberi harap meski baru. Meski begitu. Manusia dimana saja tetap ramai diakhir Desember itu. Tetap berdoa dengan rasa cemas yang menusuk pada esok.

Tahun baru di Mesir, tidak seperti di Indonesia. Tidak ada yang istimewa dalam artian ritual yang menyedot masa dan hadirin. Tidak ada petasan yang meledak-ledak di angkasa tepat setelah jarum melewati angka 12. Tidak ada pentas di taman-taman nasional. Mungkin hanya di hotel-hotel dan club-club malam tahun baru terasa. Meski begitu di sepanjang Nil orang-orang ramai, juga aku dan sahabatku Norman ikut melawan dingin. Hanya sekedar berderet lalu lalang di sepanjang trotoar sungai Nil itu. Dan dimalam yang menusuk itu, semua orang seperti mengubur ‘yang lalu’ dengan cara ramai-ramai.

Apa yang terkubur?. Yang sudah, yang hancur, dan yang hilang. Begitu banyak. Bahkan tak ganjil jika diri kita sendiri telah terdaftar pada pemakaman. Diakhir Desember kita membangun nisan yang segalanya ‘yang sudah’ kita timbun di sana.

“Desember adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap dan terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa jengkal terbentang kurun waktu dimana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung”, lanjut Goenawan Mohamad.

Dan yang baru bisa membunuh juga bisa melahirkan. Tapi kita harus tetap percaya dan berani, sebab esok tidak memberi janji.

SELAMAT TAHUN BARU 2008

Kairo Lorong Sepuluh, 02/01/2008

Tidak ada komentar: